Rasa sedih menyerangku. Kupikir renang adalah hal sederhana yang menjadi sumber bahagiaku, sesuatu yang begitu aku cintai. Rasanya kembali ditampar kenyataan dua kali, pasti berat bagiku dulu menerima kenyataan bahwa aku tidak dapat berenang lagi, dan aku merasakannya sekali lagi. Lalu apa yang sebenarnya aku lakukan, dan siapa aku dulu?
“Apa kamu mengingat sesuatu saat kecelakaan di kolam itu? Atau bermimpi saat tak sadarkan diri?” Mrs. Renata menatapku lekat.
“Gak ada, beberapa ingatan justru muncul sebelum kecelakaan itu.” Aku terduduk lesu, masih sedih sebab mengetahui kenyataan pahit ini.
“Akh, aku kesal! Kenapa ingatan-ingatan gak penting terus yang muncul? Kenapa hal-hal penting seperti ini justru tidak kuingat sama sekali?”
“Rachel....” Mrs. Renata mendekatkan posisi duduk di depanku.
“Saya paham ini berat bagi kamu. Mengalami phobia berat dan kehilangan sebagia besar ingatan, dan kamu harus mengalami kejadian tidak mengenakkan dan stress karena kenyataan ini. Rachel lihat saya baik-baik!”
Aku mengangkat kepalaku, memandang nanar wajah Mrs. Renata.
“Memang harus begitu, sebaiknya memang begitu. Phobia yang kamu alami sudah cukup jadi alasan kamu melupakan masa lalumu, penyebab phobia itu pastilah bukan hal remeh. Jika kamu mengingat alasan dibalik itu, di saat tubuh kamu belum siap menerimanya, kamu akan mengelami shok berat. Pelan-pelan Chel, perlahan... kamu akan mengingat semuanya lagi....” Mrs. Renata mengenggam tanganku.
Berat memang, aku bahkan tak dapat menahan air mataku untuk tidak tumpah di hadapan Mrs. Renata. Aku menagis tersedu. Mrs. Renata memelukku, menepuk-nepuk punggung mencoba menenangkanku.
“Untuk seterusnya kamu harus lebih hati-hati, jangan pergi ke tempat yang tidak kamu ingat atau berbahaya sendirian lagi. Tidak ada yang ingin hal buruk terjadi lagi pada kamu. Banyak yang menyayangi Rachel, Rachel kuat melalui ini karena Mama, Papa, Kakak Ayu, teman-teman Rachel dan Mrs. Renata sendiri sayang sama Rachel. Kita ada untuk kasih support Rachel untuk sepenuhnya pulih seperti sebelumnya, dan setelah itu Rachel bisa senang-senang lagi kayak dulu.
“Mama Rachel cerita, kalau Rachel itu dulu adalah anak yang ceria, begitu semangat menjalani dan meraih hal yang Rachel suka, selalu bekerja keras untuk mewujudkan apa yang Rachel inginkan, Rachel juga anak yang baik, selalu nurut sama Mama, senang bantuin teman. Rachel bisa melalui ini, Rachel itu jauh lebih kuat dari apa yang Rachel ingat saat ini. Percaya sama Mama dan Papa Rachel, mereka mengenal Rachel lebih dari diri Rachel sendiri saat ini, dan mereka ada untuk Rachel.”
Aku lepas dari pelukan Mrs. Renata, mengusap air mataku lalu menatap Mrs. Renata intens. “Mama sendiri yang bilang kalau Rachel selalu semangat meeujudkan hal yang Rachel inginkan kan?”
Mrs. Renata mengengguk.
“Kalau begitt, Rachel bakal terus semangat setiap harinya agar Rachel bisa mengingat kembali. Rachel juga bakal terus semangat untuk sembuh dari phobia ini. Rachel percaya Mrs. Renata akan bantu Rachel untuk sembuh sepenuhnya.” Aku tersenyum pada Mrs. Renata sambil mengusap air hidungku yang mulai mengalir setelah menangis.
Mrs. Renata menyodorkan tisu padaku sambil tersenyum. “Anak baik!” Dia menepuk pundakku.
Sempat kembali cuti pasca kecelakaan itu, aku kembali bersekolah. Situasi tetap sama dengan hari sebelumnya, aku disambut dengan tatapan dan sapaan dari banyak orang yang aku lupakan, mungkin juga tidak ku kenali sebelumnya. Setibanya di kelas, tampak Finka sibuk mengemasi sesuatu di atas mejaku. Menyadari seseorang masuk Finka menoleh ke belakang, matanya membulat melihat kehadiranku.
“Lily keluar! Keluar Ly sekarang!!” Finka yang tampak panik langsung meneriakiku.
Sontak aku membalikkan tubuh kembali ke koridor–keluar dari kelas. Nafasku memburu cepat, jatungku berdegup. Tadi itu terdapat gundukan buket dan bertangkai-tangkai bunga di atas mejaku. Aku mengintip Finka di balik jendela, dia tampak bingung harus menyimpan bunga-bunga itu di mana, sedangkan teman-teman yang lain tampak bingung atas sikap Finka yang sudah berteriak dan serulah pagi-pagi.
“Morning Rahcel!” Seseorang menepuk bahuku. Aku langsung berbalik menghadapnya karena keget. Sedikit mendongak memandangnya, meski dia hanya lebih sejengkal tinggingya dariku. Mataku mengerjam menatap mata berbinarnya.
“Eh salah, Lily ya harusnya!” Dia meralat. Aku mengenal wajahnya, tapi...
“Siapa?”
“Jadi kamu beneran amnesia?”
Aku balas mengengguk.
“Tapi, masa sih kamu lupa wajah ganteng ini?”
Aku mengernyitkan wajahku.