“Kamu ngombrol sama dia tadi?” Mata Finka terbelalak tak percaya dengan ucapanku barusan.
“Kamu serius soal itu?” Finka balas memandangku aneh. “Gak, kayak gak mungkin aja. Ku pikir hubunganku baik-baik aja sama dia.” Finka tampak meragukan ucapanku.
“Ly, kamu amnesia! Kamu sendiri bisa mempercayai ingatan kamu yang setangah-setengah itu? Banyak hal dulu pernah terjadi, dan kamu kehilangan semuanya. Kamu harus berhati-hati terhadap orang-orang di sekitar kamu, jangan percaya mereka!” Finka tampak marah padaku.
“Terus apa aku bisa percaya kamu?” Aku menatap Finka lekat, tangannya yang sebelumnya memaikan air kolam kini terkepal erat. Ia lalu merogoh kantong seragamnya, mengeluarkan dan menunjukkan sebuah kunci, dengan gantungan berukirkan nama Lily
“Aku tunjukkin sesuatu!” Finka bangkit, menungguku untuk bangkit juga.
Aku memandangnya kalut. Bila memang aku harus berhati-hati dan tidak mudah percaya. Finka adalah orang pertama yang harus ku wanti-wanti. Saat ini aku hanya bergaul dengannya, aku pun hanya ingat jika dia sahabatku–tak ada kenangan tentangnya yang kuingat.
“Ikuti aku!” Finka berjalan lebih dulu ke luar dari ruangan.
Tak punya pilihan lain, sepertinya aku harus mendengarkan Finka lebih dulu. Aku ikut bangkit dan berjalan di belakangnya. Finka tampak marah karena aku tak percaya padanya, dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Aku pun tak berniat berjalan di sampingnya, hanya mengikuti. Hingga ia berhenti di depan suatu ruang. Itu ruang musik.
Finka menoleh padaku, menyodorkan kunci. “Buka!”
Aku menurut mengambil kunci itu, dan membuka pintu ruangan. Tempat ini gelap. Finka menyibak gorden di jendela, membiarkan cahaya masuk. Sedikitnya, tampak gitar di atas meja, stik drum di lantai, biola yang tergeletak begitu saja di dekat tempatnya, dan berbagai patitur yang berserakan di mana-mana, tempat ini kacau sekali. Alat-alat akustiknya berdebu, juga elektrik, perkusi dan lainnya, lantai dan jendela pun kotor.
“Hah.. tempat ini hanya rapi saat kamu masih ada Ly!” Finka menyibak seluruh gorden yang menutupi jendela, mengambil sapu dan pel dibalik pintu, lalu menyerahkannya padaku. “Tempat ini jadi markas baru kita!” Finka langsung berbalik dan mulai bersih-bersih saat aku menyambut pel darinya.
Aku terpaku, ucapannya tadi seperti.. djavu.
Ada ember yang tergeletak di balik pintu, kuambil untuk kuisi air keran. Namun sebelum itu, aku ikut membantu Finka membereskan alat-alat musik dan meletakkannya rapi pada tempatnya. Aku menoleh ke luar saat bunyi bel menggaung di penjuru sekolah.
“Gurunya gak masuk, jam kosong.” Finka berlirih sambil tetap mengemasi partitur-partitur yang berserakan. Aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku, mengambil penghapus lalu membersihkan papan tulis berisi lirik lagu namun juga penuh coretan-coretan tak berfaedah. Kemoceng di atas nakas ku jemput dan mulai membersihkan debu-debu yang menempel–di samping itu Finka mulai menyapu. Usai itu ku ambil pel sedangkan Finka membersihkan kaca jendela yang tak begitu besar. Ruangan ini hanya berukuran 2 M, namun begitu banyak alat musik yang memenuhi ruangan ini, didonimasi oleh warna hitam. Meski kecil dan sempit, setidaknya AC ruangan ini menyala.
Aku lirik jam di dinding, sudah hampir jam dua belas siang. Bunyi bel istirahat siang pun menyusull diiringi dengan pekerjaan membereskan ruangan ini yang sudah selesai. Kerena capek aku menarik kursi piano tepat di tengah-tengah ruangan. Piano hitam ini tampak mengkilap setelah kubersihkan tadi.
Finka diam menatapku, tatapannya itu tak bisa kuartikan. “Kamu ingat sesuatu?”
Aku balas menggeleng, Finka yang tampak sayu kelelahan merjalan ke arahku. Membalikkan tubuhku menghadap piano yang kubelakangi. Ditariknya jemariku menyentuh tuts-tuts piano yang putih. “Mainkan satu musik buat aku!”
“Aku gak bisa!” Aku menatap Finka tak percaya.
“Kamu bisa! Karena kamu pianis Ly!” Finka menatapku semakin lekat.
“Oh ya? Kok bisa?” Aku bertanya ragu, jujur aku tak percaya, sejak kapan aku mulai mengikuti dunia musik.
“Coba tekan! Kamu pasti ingat!” Tatapan Finka berubah menjadi penuh keyakinan.
Menurut, aku menekan satu tuts piano. Dentingan itu terdengar keseluruh penjuru ruangan, aku merasakan sesuatu yang tak asing, sesuatu yang begitu dekat denganku. Ku tekan lagi..
“Gitu doang? Katanya udah bisa baca patitur, lanjut dong Li!”