Bila ingatanku tak salah, setelah tiga tahun berlalu seseorang takkan tampak begitu banyak berubah. Bila tiga tahun telah berlalu setelah ingatan terakhir masa SMPku, Rafael akan tampak seperti cowok di hadapanku saat ini. Hanya saja, Rafael diingatanku memiliki rambut lurus dan yang dihadapanku sekarang berambut ikal. Namun itu tak menjadikan ia benar-benar bukan Rafael, wajahnya begitu mirip Rafael temanku, terlebih dia memanggilku ‘Rachel’.
“Rachel Rachel.... berenti manggil dia begitu, dia itu Lily! Siswi paling berbakat, Pianis kebanggaan SMA Abdi Bangsa!”
“Rachel kamu beneran udah sembuh?” Ia maju membentangkan tangannya hendak memeluk, sontak aku menaruh tangan di depan menjauhkan tubuhnya dariku.
“Eh, mau apa lo peluk-peluk? Beludru jorok kek lo mau peluk-peluk berlian kek Lily? Gak pantes! Mandi sana!” Finka menarik punggung baju cowok itu menjauh dariku, aku hanya balas terpaku. Benar dia?
“Iya enggak kok! Oh ya, kamu ingat aku gak?” Matanya berbinar menatapku intens.
“Emm... Kamu Raf...”
“Rafa! Dia Rafa, ingat gak? Kita udah jadian sebelum kecelakaan itu, tapi aku belum sempat cerita ke kamu.” Finka merapatkan diri padaku.
“Oh ya? Berarti udah hampir setahun dong?” Benar, dia Rafael.
Finka dan Rafa mengegguk bersamaan. Aku tersenyum ikut senang. “Ngomong-ngomong kamu gak berubah ya masih sama aja kek dulu!” sindirku.
Rafa menyengir canggung.
“Emang, gak pernah berubah dia! Tenang aja, selama ada aku dia gak bakal gangguin kamu lagi!” Finka menetap tajam pacarnya.
Aku tertawa pelan.
“Udah pergi sana, ganti baju belepotan tuh kotor, nanti nodanya susah hilang!” Omel Finka.
“Iya beb iya... Aku duluan ya!” Finka dan aku balas mengengguk, Rafa beranjak meninggalkan kantin. “Oh ya satu lagi!” Dia berbalik menghadapku, “makasih ya Chel, karena udah sembuh!” Rafa tersenyum senang namun juga canggung, aku pun ikut senyum membalasnya. Punggung Rafa tak tampak lagi setelah melewati pintu kantin.
“Tuh anak, udah dibilangin jangan panggil Rachel lagi.” Lirih Finka.
“Udah gak papa, lagi pula dia udah manggil aku Rachel sejak dulu kok.” Pandanganku tetap tak beralih dari pintu yang tadi ia lewati.
“Kamu ingat? Kok kayaknya kamu lebih banyak ingat dia dari pada aku sih?” cibir Finka.
Aku menyengir memandang Finka. “Ya mau gimana? Aku kan paling ingatnya pas masa-masa SMP. Masih jail aja tuh Siamang! Kapan dewasanya coba? Kamu harus bisa bikin dia dewasa Fin!”
Finka diam manatapku, mulutnya terkunci, raut wajahnya tampak berubah. Kepalanya agak mendongak memandangku karena proporsi tubuhnya yang beberapa centi lebih rendah dariku, mata Finka tampak sendu. “Fin...?”
Finka tersenyum samar. “Ia Ly, aku akan bikin dia dewasa!” Senyuman itu mengembang. Terasa canggung, aku balas senyum tipis.
***
Tas hitam mini ku henpaskan di atas kasur. Ku buka lemari baju yang kemarin sempat kulihat-lihat. Penuh dengan gaun warna-warni. Awalnya aku tak mengerti mengapa ada begitu banyak gaun di lemariku, kini aku tahu alasan itu. Mataku menerawang ke seluruh penjuru kamar penuh dengan nomansa peach, peach adalah warna kesukaan Kak Ayu, berarti dulu ini adalah kamarnya. Lalu di mana kamarku?
Aku keluar dari kamar, memasuki setiap ruangan di lantai dua. Ada, satu kamar yang terhubung langsung dengan balkon. Ku coba masukkan kuncinya yang tadi sempat ku pinta pada Mbak Rumi. Ku tekan gangang pintu, bunyi decitan pintu mengaung di penjuru lantai dua yang sunyi. Aku masuk ke dalam. Ku cari sakelar di dinding dekat pintu, menyalakan lampu. Ruangan putih dengan lukisan-lukisan dan foto-foto saat kecil hingga remaja, bersama keluarga, foto dengan medali renang sampai saat bermain piano–ya, kebanyakan foto-foto saat perfome, menang penghargaan sampai foto-foto dengan selebriti dan pianis-pianis terkenal lainnya. Di foto itu tampak Lily tersenyum sangat lebar, bahagia.