Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #21

20. Peach for Me

Daffa bilang aku pernah pacaran dengannya? Omong kosong apa ini? Hal apa saja yang sudah ku lupakan, terlalu banyak hal yang membingungkan karena hilangnya ingatanku ini. Setiap pertemuan dengan orang yang pernah kukenal, selalu memaksaku untuk mengingat kembali–tapi tetap aku tak ingat sama sekali.

Aku sadar bodyguard sekaligus juga sebagai supirku sudah memperhatikan aku yang melamun memandang luar kaca mobil, dari balik kaca spion. Aku tak peduli, kepalaku sedikit pusing karena terlalu banyak berpikir untuk mengingat.

Setiba di rumah, aku berjalan lunglai berdiri di depan pintu menekan bel, menunggu mbak Rumi membukakan pintu. “Eh, non udah pulang!” sapa mbak Rumi ramah.

“Iya mbak!” jawabku malas. Tanpa ku perhatikan, sudah terbayang bagaimana ekspresi mbak Rumi mendengar jawaban ku yang mencerminkan seperti memiliki masalah.

“Eh dek! Kamu make hills kakak?” tegur Kak Ayu yang sedang menuruhi tangga lantai dua.

“Iya kak....” jawabku lemah sambil melaluinya menuju dapur. Aku merasa haus meski sudah menghabiskan dua gelas milkshake di café tadi.

Tiba di dapur, aku langsung membuka lemari es dan mengambil sebotol air dingin. Dan aku menahan tanganku menutup pintu kulkas saat mataku tertuju pada cukup banyaknya buah persik yang ada di sana.

“Ini aku bawain sekeranjang persik buat kamu Ly. Mulai sekarang kamu harus sering makan persik, selain menghambat pertumbuhan sel kanker, menurut kepercayaan cina juga melambangkan umur panjang. Kamu udah pernah hampir meninggal Ly, keajaiban sekarang kamu masih ada di sini. Semoga kamu dikasih umur yang panjang sama Tuhan Ly...”

Setelah ucapan Aci pada saat pertama dia dan Dea mengunjungiku di rumah setelah pulang dari Singapura itu, Mama jadi begitu terobsesi pada buah persik. Di atas meja makan pun, sekeranjang persik bertumpuk menunggu matang. Aku sampai bosan memakannya setiap hari.

“This peach for you Lily!” ucap Dea dulu sambil menyuapkan persik yang sudah ia potong.

Aku sebenarnya tidak terlalu percaya, namun tak ada salahnya menuruti saran mereka, setidaknya aku tahu jika keberadaanku, hidupku berarti untuk mereka. Aku senang akan hal itu.

Aku menutup pintu kulkas setelah sempat kedinginan terlalu lama di depannya. Mengambil gelas lantas mencurahkan air ke dalamnya. Ingat-ingat Aci dan Dea, aku jadi bertanya-tanya bagaimana bisa aku sempat pacaran dengan Daffa. Karena bahkan di ingatan terakhirku, kami sepakat untuk menjauh dari Daffa, lalu apa yang terjadi setelah itu? Apa mereka tahu bagaimana hubunganku dengan Daffa dulu? Tapi sepertinya tidak, mengingat bagaimana respon mereka saat aku bertanya tentang sosok pria kecil di foto yang aku lupakan. Saat itu tanpa fokus padaku, Aci lebih menyudutkan Dea sebagai orang yang juga pernah menyukai Daffa. Aku harus menanyakan hal ini lebih lanjut pada Daffa.

“Good pagi semua!” sapa Rafa yang tiba-tiba duduk di samping Finka. Finka mengusap wajah berkeringat Rafa dengan tissu dengan lembut.

“Habis dihukum bersihin apa lagi kamu?” Rafa memberi kode seperti meminta minum, Finka mengerti lalu memberikan minumannya pada Rafa.

“Bersihin perpus! Slurrp... capek.” Rafa menyesap the poci nya Finka.

“Disuruh bersihin perpus kenapa?” tanyaku sambil menghabiskan nasi goreng pesananku.

“Biasa lah Ly, ketahuan nyontek pas ulangan,” jelas Finka.

“Pfft...” aku berusaha menahan tawa.

“Kamu ketawa Ly?”

“Wah... aku diledekin nih?” Rafa manyun.

“Haha... enggak, pasti seru ya. Nemu buku kuning lagi gak kamu? Haha...”

“Maksud kamu Ly?” tanya Finka.

“Haha, jadi keingat aja. Raf kamu ingat gak waktu SMP kita bertiga, aku, kamu sama Daffa pernah dihukum bersihin perpus sama Pak Budi karena ketahuan nyalin jawabannya Daffa buat PR?”

Lihat selengkapnya