Aku menurunkan kaki ku pada aspal depan gerbang sekolah, keluar dari mobil. Melirik jam ditangan, sudah pukul 06:47 namun hari begitu berembun matahari pun belum tampak. Aku merapatkan swetter merah muda yang ku kenakan, aku sepoi berhembus mengibas poni sebatas alis dan rambut curlyku. Aku berjalan masuk gerbang, bersamaan dengan rombongan murid-murid lain. Melewati koridor, dan seperti biasa disapa oleh semua orang.
Hanya tinggal beberapa lagi tiba di kelas, dan aku langsung dikejutkan oleh Rafa yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan sedang bermain skeatboard dengan kencang.
“Chel Chel awas Chel!” teriak Rafa. Refleks aku bergeser selangkah ke kiri. Rafa yang berusaha menghindariku, menabrakkan dirinya ke dinding kelasnnya sendiri.
Bruukkk....
“Aduh....: keluhnya. Rafa yang terjatuh langsungdi kerumuni terutama oleh teman-teman dari kelasnya, tak tinggal diam aku ikut memeriksanya.
“Raf, kamu gak apa-apa?” tanyaku sambil memeriksa kepalanya. Rafa meringis sendu menahan sakit. Ada benjolan besar di dahinya karena sudah dengan mulus membentur jendela kaca kelasnya.
“Aku kenapa-napa Chel!” rengeknya.
Aku menghembuskan nafas kasar. “Ayo ke uks!” Aku mengalungkan pergelangan tangannya ke leherku, berusaha membantunya bendiri. Kakinya juga ikut terkilir saat tergelincir dari skeatboardnya tadi. Kerumunan pun otomatis langsung memberi ruang untukku dapat keluar.
“Aduh jangan nanggung semua berat badan kamu ke aku dong, berat tau!” aku mengeluh. Rafa sangat berat, tubuhnya agak tambun juga sekarang. Tak sia-sia makannya yang banyak, akhirnya ia berisi juga. ia juga sedikit lebih tinggi dariku, padahal meski dulu aku pendek Rafael justru lebih pendek dariku. Dan lihat sekarang, dia lebih besar dariku.
“Ya mau gimana dong Chel, kan gak bisa jalan.” Rafa semakin merengek saja.
“Haah... harusnya aku minta kamu digendong sama abang-abang aja.”
“Jangan! Aku gak suka abang-abang!”
“Yang bilang kamu suka sama abang-abang siapa?”
“Chel aku masih suka cewek!”
Aku memutar bola mata malas, terus memapah Rafa. “Hah hah... kamu berat banget!” Aku mulai ngos-ngosan.
“Sabar! Tapi kita mau kemana ya Chel?”
“Ke UKS lah!”
“UKS bukannya arah gerbang?”
“Hah?” Aku mamandang Rafa tercengang, “kenapa baru bilang?” Aku baru ingat bahwa aku sendiri lupa ruang UKS berada di mana. Sedangkan aku membawa Rafa semakin masuk ke dalam gedung sekolah.
“Kamu kan gak nanya,” lirih Rafa polos.
“Yah, gak mungkin balik dong, aku udah capek banget! Di sini sepi lagi!” Dan Rafa hanya balas melongo tak jelas. “Gini aja deh, aku telfon Finka minta dia datang ke sini. Lebih baik kamu dibawa langsung ke rumah sakit.”
“JANGAN!!”
Aku mengerjabkan mata keget. “Kenapa?”
“Aku takut rumah sakit!” Wajah Rafa tampak menegang.
“Pttf... haha sejak kapan kamu takut rumah sakit?”
“Sejak SD.”
“Oh ya? Terus sekarang gimana dong?”
“Itu di depan gak jauh lagi ada kantin, kita ke sana aja. Buk Tia bisa ngurut!”
“Ya udah, pegangan!” Aku membawa Rafa semakin dekat pada kantin yang masih sepi. Bahkan ibu kantin, Buk Tia yang disebutkan tadi masih sibuk menyiapkan warungnya. Usai memberi penjelasan, Buk Tia langsung saja menyambut pergelangan kaki Rafa.
“Akk... akkk... aw sakit buk sakit!!!” Tak dipungkiri lagi, Rafa berteriak-teriak kesakitan.