Mrs. Renata datang membawa segelas air dan memberikannya padaku, aku masih menunduk enggan menyamput segelas air itu. Tahu aku tidak akan mengubrisnya ia meletakkan gelas itu di atas meja. Usai diseret paksa Papa sejam lalu keluar dari dalam kamar, aku masih meringkuk di atas kursi. Mama, Papa dan Kak Ayu menunggu diluar ruang konsulltasi.
Setelah pingsan beberapa hari lalu, aku tak lagi bicara pada siapapun. Aku mendiamkan semua orang di sekitarku, mengurung diri di dalam kamar sendiri, meringkuk ketakutan di sudut kamar, bergelut dengan pikiranku, pikiran yang menyiksaku, ingatan yang membantaiku. Sekejap usai ingatan itu tayang, rasa percayaku sirna, tak seorang pun bahkan diri ku sendiri yang ku percaya. Aku terlalu bingung, terlalu takut, terlalu khawatir dengan apa yang dulu sempat terjadi dalam hidupku.
Aku mengenggam tanganku sendir dengan kuat, wajahku datar, tak mengekspresikan apapun. Aku tak dapat menangis apalagi tertawa, kodisiku sekarang bagai lembar abu-abu. Abu-abu.. tanpa rasa, tanpa cerita, tanpa suara, tanpa asa, tanpa percaya. Hanya takut.. tinggal takut.. takut yang menyelimuti hingga rasanya mau gila.
“Rachel mau dengar cerita?” Mrs. Renata bersua, mencoba mengajakku berkomunikasi. Aku dengar, aku diam, dan tetap diam.
“Dulu saya dibesarkan oleh nenek saya, tinggal berdua bersama nenek di rumah kecil dekat hutan bakau. Orang tua saya? Saya tidak memiliki orang tua. Nenek pulang pergi setiap pekan dari pasar menjual sayur hasil tanam sendiri, di hari lain ia juga membuka lapak menjual kue di atas jembatan yang menghubungkan desa dengan kota kabupaten, jembatan yang sering dilalui orang. Namun jarak dari rumah kami dengan pasar dan jembatan itu sangat jauh. Nenek menghabiskan waktu dua jam berjalam kaki hingga tiba di sana. Saya tidak pernah di ajak berjualan, hanya diam di rumah menjaga kebun dari kambing hutan. Kami tidak memiliki tetangga, rumah kami sangat jauh dari perumahan orang-orang di desa, tidak ada yang saya kenal selain nenek, saya tidak memiliki teman. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa nenek membesarkan saya.
“Ketika berumur tujuh tahun nenek mengantarkan saya ke sekolah, beliau bilang ia memang tidak mampu, namun ia percaya bahwa pendidikan itu penting. Nenek sendiri tidak pandai membaca, namun ia selalu memarahi saya bila malas-malasan dan tidak mau belajar. Karena nenek lah, saya bisa menjadi seperti sekarang. Jika bukan karena nenek, saya mungkin akan mati dan membusuk di dalam tong sampah.”
Aku mengangkat kepalaku, melihat wajah terharu Mrs.. Renatan sekejap lalu menunduk lagi. Kisahnya itu tidak ada hubungannya denganku. Itu hidupnya, percuma bercerita sedih begitu, sekarang dia bahkan tampak bahagia saja, tidak sepertiku.
Usai dua jam bercerita tentang masa lalunya, yang tidak kutanggapi, Mrs. Renata menyerah. Ia mengantarku keluar dari ruangan, menyerahkanku kembali pada Papa. Mama merangkulku membawa keluar dari rumah praktek. Sedangkan kak Ayu, dialah pasien selanjutnya dari Mrs. Renata. Aku tak peduli.
Esoknya aku mendatangi Mrs. Renata lagi, masih sama aku tetap tak bersua. Mrs. Renata membawa cemilan kali, menawariku. Tatap tak ku gubris, ia meletakkannya di meja.
“Ini kue kesukaan saya, buatan toko bakery yang ada di simpang lampu merah. Saya sebenarnya tidak menyukai kue, karena rasanya yang terlalu manis. namun kue nanas ini pas di lidah saya, rasa manis asam dan aroma nanas yang khas begitu menggoda hidung. Rachel juga tidak terlalu suka kue juga kan. Coba yang ini, saya rasa kamu akan suka!”
Aku tetap tak mengubris Mrs. Renata. Aku merapatkan betis menatap sepatu balet yang ku kenakan. Dilihat dari koleksi pakaianku, make up, juga selera warnaku, aku cukup faminim juga ternyata. Aku tersenyum sinis, lihatlah aku bahkan tidak mengenali diriku sendiri. Sangat miris.
Saat terbangun pertama kali setelah kecelakaan, mereka yang mengaku keluarga ku menangis sejadi-jadinya. Saat tahu aku kehilangan ingatan, mereka tidak henti bertanya kenal aku dengan mereka, menanyai berbagai hal. Mereka memaksaku percaya, namun untuk pertama kali itu terasa menakutkan, aku sempat berusaha kabur dari rumah sakit. Namun saat itu aku justru bertemu Finka di rumah sakit, anehnya bukannya jadi melarikan diri, aku justru mengejar Finka karena merasa tidak asing padanya, rasanya aku mengenalnya. Ekspresi pertamanya yang masih membekas di ingatanku, dia begitu kaget sampai berteriak seperti baru saja melihat hantu.
Aku menatap nanar kelender, ini hari ke tujuh sejak kejadian boneka rusa betina itu, hari ke empatku mengunjungi Mrs. Renata, sesi konsiltasi yang hanya dihabiskan dengan duduk diam selama dua jam dengan Mrs. Renata yang bercerita apa saja, sampai masalah wasir yang dideritanya.
“Chel.. keluar yuk sayang, kita makan malam bareng di dapur!” panggil Mama di balik pintu yang ku belakangi.
Aku tak menyahut Mama. Mataku teralihkan pada jendela yang penuh titik hujan. Aku beranjak, aku ingin mendengar suara hujan. Ku buka jendela, membiarkan suara hujan deras memenuhi kamarku yang sepi. Aku mengulurkan tangan, membiarkan air hujan yang jatuh menyentuh tangan.
“AKU GAK BISA DENGAR KAMU! HUJANNYA DERAS! HAHA...”
Seseorang berlari menyebrag jalan menggenakan payung hitam, menghampiriku yang bergaun putih di depan hotel. Aku tak dapat melihat wajahnya, hanya setelan jas hitamnya saja yang mencolok meski bulan tak menyinarinya. Wajahnya mendekati telingaku.
“Jangan bisik geli tahu!” Ia membawa bunga di genggamannya ternyata. Ku terima dan ku hirup bunga itu dengan senyum sumringah.