Aku kembali ke tempat duduk ku dahulu, duduk di samping Daffa yang tak peduli denganku di sampingnya. Ia hanya sibuk membalik-balikkan lembar buku pengetahuan sosial di genggamannya. Kelas terasa berbeda, terasa hening, karena tidak lama lagi ujian akhir akan di laksanakan. Masa-masa tryout pun sudah dimulai.
Aku mengeluarkan buku pelajaran dan juga pena dari dalam tas, di belakang Aci dan Dea bertengkar lagi. Sedangkan diujung belakang sana, Siamang Rafael menjahili Sidqi sepupuku, yang sekarang sudah tidak pernah ku ketahui lagi kabarnya. Ku harap dia baik-baik saja di Malaysia sana. Kembali memandang orang di sampingku ini, ia tampak teduh dengan wajah tampannya yang semakin mempesona saja, lihatnya pria kecil semakin tampak menarik. Terlebih lagi, kini dia sudah menjadi model yang cukup terkenal.
Dari pintu tampak seseorang yang seperti habis berlari, lalu masuk dengan tergesa-gesa.
“Rachel!” Panggil Rafael berteriak di belakang, dia bahkan berdiri menyambut kedatanganku. Aku yang dipanggil, berdecih malas karenanya. Menutupi wajah dengan telapak tangan, yang ku pikir sekarang tidak ada gunanya juga. Aku duduk di bangku ku di samping Daffa, tentu saja Aku sudah menghindar sedari tadi.
Lihatlah, ini tidak terduga sebelumnya. Daffa langsung tampak melirik-lirik ku, sambil tetap membalik-balikkan lembar buku pelajaran sosial yang tak fokus ia baca sedari tadi.
“Morning Ly!” Panggilnya malu.
Aku tersenyum sambil merapikan posisi tasku, “Morning Daf!” Lihat yang ini, wajahku tampak memerah.
Ada apa dengan mereka?
Namun sepertinya bukan hanya aku yang menanyakan hal itu, Rafael di belakang, juga tampak bertanya-tanya dan menyadari ada sesuatu yang berbeda antara Aku dan Daffa.
“Rachel! Rachel!” tak menyerah bocah itu terus memanggil nama Ku, seperti sedang merapalkan mantra.
Aku yang di depan, menoleh ke belakang dengan kesal. “Kenapa?” tanya Ku dengan intonasi tinggi, tampak sudah kesal sekali, padahal masih pagi. Mungkin karena sudah hampir terlambat masuk kelas tadi.
“Kuku kamu belum dipotong? Mau pinjam pemotong kuku gak? potong dulu sebelum kamu ditegur Bu Pat kayak minggu lalu!” tak terduga, Rafael perhatian juga.
Aku tampak memeriksa kuku Ku yang memang sudah panjang karena sudah dua minggu tidak dipotong. “Oh iya, kamu punya pemotong kuku gak?”
“Ada!” seru Rafael bersemangat.
“Minjam dong!” ujarku memelas.
“Bentar ya, ini bakal lama!” Rafael berdiri dan bersiap keluar kelas.
Ketika ia hampir melewati meja Ku, Aku menahan tangannya, “Mau kemana? Aku kan minjam pemotong kuku!”
“Iya tahu, aku ambil dulu!”
“Ambil di mana?”
“Di rumah!” seru Rafael tampa dosa. Aku menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Aku memukul kepala Rafael, “Lo bego apa tolol sih? Udah balik sana ke bangku lo! gak usah cari-cari alasan buat bolos deh lo!” Aku tampak kesal sekali. Dan Rafael menurut, dia kembali dengan pasrah ke bangkunya di belakang.
“Kalau kamu mau potong kuku, aku punya kok alat pemotong kuku nya.” Daffa di samping bersua.
“Oh ya, boleh aku pinjam?” Tanyaku pelan juga lembut. Aku memandang dengan ekspresi aneh pada mereka, aku tidak tahu jika pernah berucap dengan intonasi menjijikan seperti itu, aku mengidikkan bahu, merinding.
Aku tahu ada yang salah dengan mereka berdua, Rafael pun sadar hal itu rupanya, dari bangkunya di belakang ia tak berhenti memperhatikan gelagat dua orang di bangku paling depan ini.
***
“Kita pernah jadian!”
Benarkah? Tanyaku dalam hati.
“Bagaimana bisa?” tanyaku langsung.
“Bisa saja, meski pada akhirnya berakhir seperti yang kamu lihat sekarang.”
“Tidak bisakah kamu menceritakan lebih padaku?” tanyaku.
“Akku gak tahu sejam kapan tapi saat kelas delapan aku sadar aku sering memperhatikan kamu. Bukan cuma kamu di sini yang suka, tapi aku juga. Kita mulai dekat lagi saat kamu duduk sebangku denganku lagi.”
“Apa yang terjadi?”
***
Cplass.. Cplass...
Terdengar suara ceplasan air dari dalam ruang renang, aku masuk melalui pintu kaca dan mendapati dua orang itu lagi di sini, dua orang yang menjadi inti cerita ini.
“Gimana rekor ku kali ini?” tanya Ku usai menyelesaikan satu putaran renang
“Tidak lebih baik, kamu lebih lambat lima detik dibanding sebelumnya!” Daffa bangun membantuku naik ke atas kolam
“Itu karena aku gugup sepanjang putaran, harusnya aku gak ajak kamu ke sini!
Daffa terdiam dalam waktu cukup lama
“Kenapa?” Tanyaku parau
Aku berdiri berkacak pinggang, memperhatikan dua bocil kasmaran ini dari pinggir kolam