Ku pikir semua sudah jelas, dan semua sudah berakhir. Ku pikir sekarang aku sudah dapat menjalani hidupku dengan tenang, masa lalu ku, bagaimana aku dulu, teman-temannya, hubunganku dengan pria lain. Ku pikir semua sudah jelas. Aku bosan pada Daffa, dan Rafael pun tak berhasil membuatku menyukainya. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa aku tidak merasakan apapun terhadap Daffa mau Rafael sekarang, justru aku yang menjodohkan Rafael dengan Finka. Meski mereka bukan temanku, aku sempat tertipu oleh mereka.
Namun itu bukan akhir, pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan. Mengenai phobia ku, juga mengenai mengapa sekarang rasa kehilangan menggerayapi perasaanku, aku hanya tidak mengerti.
Usai pelajaran kedua usai, bunyi bel istirahat pun terdengar. Aku tetap di kelas, meski yang lain sudah berhambur keluar kelas menuju kantin untuk sarapan atau sekedar jajan. Aku berjalan melalui setiap sudut kelas, dan berhenti di meja guru, memeriksa laci dan menemukan buku tahunan siswa. Tersenyum sebentar ketika mendapati wajah Daffa menjadi salah satu dari siswa-siswa yang biodatanya terdapat di halaman paling depan, wajah tampannya tetap mempesona meski hanya berupa selembar foto yang tertempel tak rapi di buku siswa kelas tahun ini. Aku terus membeliknya lembar, namun aneh aku tak menemukan nama Rafael Alder Livin di bawah foto Rafa, namanya bukan Rafael melainkan Rafa Suhendra.
Aku mengernyit sebentar, ku balik lagi lembar-lembar sebelum dan sesudahnya, tidak ada. aku tidak salah lihat, biodata yang terdapat foto Rafael bukannya biodatanya Rafael, aku tak tahu lebihnya namun namanya saja sudah berbeda.
“Akhirnya ketahuan juga!”
Aku terkejut bukan kepalang, menyadari posisi Rafa yang ada di belakang ku secara tiba-tiba.
“Maksudnya apa?”
Rafa menatapku dengan wajah serius. “Aku bukan Rafael!”
“Hah? Apaan sih ngaco!” aku langsung memasukkan kembali buku itu ke dalam laci dan beranjak keluar kelas. aku memang masih menghindari Rafa dan Finka, aku tidak ingin berbicara dan berinteraksi lebih dengan mereka.
“Kamu harus tahu ini Chel. Aku bukan Rafael!” dia masih saja mengoceh. Sudah lah aku tak peduli.
Tiba-tiba tanganku ditahan oleh seseorang. Rafael yang mengejarku. “Apaan sih? Lepas!”
“Kamu harus dengerin aku dulu! Ada sesuatu yang harus kamu tahu Chel!”
“Aku harus tahu apa?”
“Kamu gak curiga tentang apapun yang kamu lihat tadi? Aku bukan Rafael Chel! Kamu salah orang! Ada yang salah dengan ingatan kamu!”
“Aku gak peduli ingatan ku benar atau salah. Semua hal yang buruk memang harus dilupain, aku gak mau ingat-ingat hal buruk lagi. Sudah cukup! Aku gak seharusnya mengalami hal buruk itu dan mengingatnya lagi!”
“Tapi kamu harus tau ini! Kamu harus ingat ini!”
“Ingat apa? Perlakuan buruk kalian ke aku dulu? Itu maksud kamu!”
“Chel! Aku tekanin sekali lagi. AKU BUKAN RAFAEL!” ucap Rafa dengan menekankan setiap katanya. “Namaku Rafa Suhendra bukan Rafael!”
“Tapi... kamu Rafael..” ucapku ragu-ragu melihat Rafa yang tampak mulai emosi.
“Kamu yang menjadikan aku Rafael! kamu yang menganggap aku Rafael! Rafael gak ada di sini!”
“Jadi... dia di mana?”
“Itu yang harus kamu tahu!”