Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #2

1. Bangku di Pojokan

Aku tahu aku sedang tertidur sekarang. Mimpi ini adalah mimpi yang panjang, tentang sekian banyak kenangan yang terlupakan. Aku datang tuk mengingat kembali, mengenal kembali mereka yang pernah ada dan kuharap masih ada. Ingatan tentang sosokku yang kini mungkin telah berbeda, karena kepingan ingatan tak mengenakkan menunggu tuk disapa.

Tepatnya di musim hujan, pada tahun ajaran baru yang ke-7 selama perjalanan pendidikanku.

“Aduh duh kebelet boker!”

Kringg....

Bel berbunyi, seketika barisan murid-murid baru dibubarkan dari lapangan setelah pengumuman pembagian kelas sehabis masa orientasi diberitahu. Tapi aku tidak langsung menuju kelasku, melainkan berbelok ke lorong satunya menuju toilet.

Beberapa menit berlalu. Aku berdiri di depan toilet wanita ketika baru saja keluar dari dalamnya, masih dalam keadaan memegangi perutku yang sakit. Gara-gara pangsit level sepuluh yang kumakan tadi malam, perutku mulas sekali hari ini.

Kriett...

Mendengar suara desitan pintu itu sontak membuatku langsung menoleh ke samping. Seorang pria kecil baru saja keluar dari toilet pria. Sambil memperbaiki posisi tas yang dipangkunya, dia menoleh ke arahku yang memandangnya sedari tadi.

“Kelas berapa?” tanya pria kecil ini.

“Tujuh A,” jawabku. “Kamu?” tanyaku balik.

“Sama!”

Aku diam sebentar, dia pun begitu tak beranjak sedikit pun.

“Oh, duluan ya...” ucapku setelah sadar akan satu hal.

Aku berjalan cepat menuju kelas. Aku ingat akan satu hal, sudah hampir sepuluh menit setelah pengumuman kelas, dan aku bahkan belum sempat melihat kelas baruku apalagi memilih tempat duduk yang bagus. Padahal aku sengaja datang pagi-pagi, berharap kelasnya sudah dibagikan, jadi aku dapat memilih tempat duduk kesukaanku: di pojokan. Dan terhidar dari duduk di baris paling belakang.

Bukan karena apa, umurku baru menginjak dua belas tahun, dan tubuhku mungil sekali. Duduk di bangku paling belakang hanya akan membuat tubuh kecilku seolah tidak terlihat, jika aku hanya diam tak bersuara semua orang pasti mengira aku menghilang entah ke mana. Itu lah yang sering dikatakan orang paling menyebalkan di SDku dulu, dan untungnya sekarang aku telah terbebas darinya. Tapi bukan itu alasanku, aku akan kesulitan belajar di kelas bila teman-teman yang di depan lebih tinggi atau lebih berisik dariku.

Aku mempercepat langkah kakiku, tapi bukan hanya suara langkah kaki cepatku yang terdengar. Aku menoleh ke belakang. Pria kecil ini berjalan mengikutiku. Langkah kaki panjangnya hampir mendahuluiku, aku kembali mempercepat jalanku. Tapi seolah sedang lomba marathon, dia tak ingin kalah dariku, dia berlari mendahului.

“Eh....”

Aku lantas ikut berlari di belakangnya. Angin menyibak rambut panjang tergeraiku. Sepatu hitam kebesaran yang kupakai rasanya hendak terlepas dari telapak kakiku yang memaksa berlari. Ini sama sekali tak nyaman, aku berhenti sebentar, melepaskan sepatu kebesaranku dengan mudahnya lalu kembali berlari nyeker dengan kaos kaki putih selutut. Lariku semakin mudah, bahkan rasanya ingin terbang karena tubuh kecilku ini.

Kami tiba di kelas. Pria kecil ini berdiri di ambang pintu, memperhatikan sekitarnya. Aku yang baru tiba, berdiri tepat di sampingnya sambil ngos-ngosan, karena penat berlari tadi. Aku ikut memandang menyusuri setiap sudut kelas. Seluruh meja telah terisi kecuali satu di pojok paling depan sini dekat pintu, meski sudah ada seorang cowok berkaca mata yang sedang merogoh-rogoh isi tasnya.

Pria kecil berjalan melaluiku. Aku terbelalak, dia hendak menuju meja di pojokanku. Dia bersiap hendak meletakkan tasnya. Tak tinggal diam, dengan cekatan aku berlari dan langsung duduk di kursi itu. Pria ini terbelalak melihatku yang masih ngos-ngosan telah mengambil kursinya.

“Ini tempat dudukku? Ngapain kamu duduk di situ?” tanyanya.

Aku meletakkan tasku, menyenggol tasnya. “Aku yang duluan duduk, jadi ini tempat duduk aku!” balasku sambil memasang kembali sepatuku dengan cepat.

Cowok berkaca mata minus ini memandang kami heran.

“Aku udah duluan milih tempat duduk ini!” Dia balas mendorong tasku dengan tasnya.

Aku balik mendorong tasnya dari mejaku. “Gak bisa gitu dong, siapa yang cepat dia yang dapat! Aku udah duluan duduk di sini, jadi ini tempat dudukku!”

“Emang kamu anak kecil?”

“Emang masih kecil kok!”

“Kalau gitu ngapain di sini? Balik sana ke TK!”

“Enak aja, aku udah lulus TK tahu. Cuma satu tahun...!” Aku menunjukkan telunjukku ke atas, melambangkan angka satu.

“Emang siapa yang di TK enam tahun? Minggir sana!”

“Kamu yang minggir sana!” Aku kembali mendorong tasnya dengan tasku, itulah yang terjadi sepanjang percakapan kami.

“Aku yang pertama mau duduk di sini, dan kamu yang ngerebutnya dari aku!”

“Siapa bilang, aku yang pertama duduk di sini, jadi ini tempat duduk aku dan kamu gak bisa ngerebutnya dari aku!”

“Oh ya?” Pria kecil ini, melempar tasku ke meja di samping. Membuat kaget teman yang duduk di sana.

Tak tinggal diam, dengan emosi yang memuncak aku merebut tasnya lalu melemparkannya ke belakang, jatuh di lantai.

Lihat selengkapnya