Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #3

2. Hilangnya Ikan Goreng

Kelas sekarang sunyi dan lenggang. Wali kelas sudah masuk sejak dua puluh menit yang lalu.

“Nama saya Daffa Azri Ansa, biasa dipanggil Daffa.”

Dan sekarang adalah sesi perkenalan, pria kecil yang duduk sebangku denganku dengan gagahnya berdiri di depan kelas—memperkenalkan diri.

“Saya alumni SDN 02,” lanjutnya.

SD 02? Itu SD terfavorit di seluruh penjuru kota, tempatnya anak-anak pintar bersaing dalam belajar. Anak dengan tingkat kecerdasan menengah ke bawah sepertiku, sama sekali tak dapat dibandingkan dengannya.

“Dari SD 2? Juara berapa kamu di sana?” tanya pak guru.

“Juara satu Pak.”

“Daffa Daffa hobi-nya apa?” tanya seorang teman perempuan di pojok belakang sana.

“Hobi aku main game. Ada yang mau nanya lagi?” Daffa memandang seisi kelas dengan percaya diri. Terlihat narsis sekali.

“Dasinya ke mana kok gak dipakai, anak baru juga!” celetukku.

Dia memandang tajam ke padaku, bukan hanya dia seperti hampir seluruh murid perempuan memandangku sinis.

Ya ya, aku tahu. Aku baru saja mengucapkan kata yang menyinggung perasaan cowok paling tampan di kelas, atau mungkin di sekolah ini.

“Ada kok, tapi aku gak bisa masang dasi dengan rapi. Aku lihat dasi kamu rapi! Bisa tolong nanti pakaikan? Gak masalah kok kalau cewek cantik!” ujarnya.

Ucapannya barusan berhasil membuatku tak sadar dengan mulutku yang mengaga sempurna.

“Widiih...” teriak seisi kelas.

Pak guru hanya mengeleng-geleng mendengarnya.

“Jangan mau tangannya korengan!” teriak Rafael di belakang.

Sontak seisi kelas tertawa.

Aku menoleh ke belakang, memasang tatapan membunuh. “Enak aja, enggak kok!” Aku membela diri.

“Sudah sudah, sekarang kamu yang maju!” perintah pak guru.

Aku lantas berdiri, berjalan menggantikan tempat si Daffa ini.

“Perkenalkan nama saya Rachel Lilia Sana, biasa dipanggil Lily, umur dua belas tahun, alumni SDN 01, agama—islam, hobi berenang, sekian terima kasih!” ungkapku cepat, lantas langsung melangkah kembali ke tempat dudukku.

“Cepat amat! Gak pake nafas lagi?” celetuk Rafael lagi.

Aku tak memperdulikan perkataan Rafael barusan. Pak guru lanjut memanggil teman di belakangku: Aci. Aku tak terlalu memperhatikan Aci yang sedang memperkenalkan diri di depan kelas yang menyatakan bahwa di suka bermain bulu tangkis, aku sedang memperhatikan penampakan di sampingku ini.

Pria kecil ini.... Kulitnya kuning langsat, hidungnya seperti membentuk sudut tujuh puluh derajat— mancung juga, bulu matanya biasa saja, tapi matanya itu indah. Dan sekarang matanya itu.

Melirik padaku.

Mataku langsung membelok, memelototi Aci di depan kelas—membuatnya keget seketika melihat aku memplototinya, dia sedikit ketakutan sekarang. Pria kecil di sampingku ini menahan tawa melihatku, tersenyum menampakkan gigi gerahamnya. Aku masih bisa melihatnya, dia manis saat tersenyum.

Jam pulang sekolah telah tiba, ditandai dengan Rafael yang buru-buru hendak keluar kelas. Dia masih sama, datang paling terakhir pulang paling awal. Tapi siapa yang peduli dengan apa yang akan dilakukannya sampai seterburu-buru itu, paling juga keluyuran gak jelas. Lagi pula aku masih kesal karena kejadian tadi pagi, meski sebenarnya aku memang selalu kesal padanya.

Brukk....

Dia menabrak Daffa yang ada di depannnya.

“Eh, sorry bro gak sengaja!” ucap Rafael, lantas langsung berbalik mendahului Daffa.

Tapi gantungan tas Rafael tersangkut di kancing seragam Daffa.

“Rafa_!” panggilku pelan.

Yang dipanggil malah bolot, dia bahkan tak sadar gantungan tasnya tersangkut. Dengan kencang dia membawa pergi tasnya, membuat kacing baju Daffa terlepas dan jatuh di lantai. Aku langsung membantu Daffa yang celingak-celinguk mencari kancingnya.

“Ini!” Aku memberikan kancing itu setelah menemukannya.

Daffa menjemput kancinya dari tanganku. “Makasih ya!” Dia tersenyum padaku, lalu melangkah pergi.

Aku hanya diam, tak menanggapi ucapannya. Kembali membereskan barang-barangku masuk ke dalam tas dan pergi keluar kelas. Aku mengambil sepedaku yang terparkir di parkiran sekolah, bersiap mendayungnya. Tapi seperti ada beban yang diletakkan tiba-tiba di belakangku, membuat sepedaku terhuyung—hampir jatuh.

“Nebeng ya!” celetuk Rafael.

“Kamu apa-apaan sih? Turun gak!”

“Anterin ke rumah dong, kita kan searah.”

“Emang iya?”

“Iya Rachel! Anterin ya, sopir aku gak bisa jemput istrinya lagi lahiran.”

Lihat selengkapnya