“Morning!”
Sunyi....
“Ehm....”
Pria kecil ini tak mengindahkanku.
”Hey!” Aku melambaikan tangan di wajahnya.
Dia menengok padaku—hanya sebentar.
“Bisa minggirin barang-barang kamu gak? Aku mau duduk!” ujarku terus terang.
Dia merangkul barang-barangnya yang berserakan di mejaku, menggeser mereka mendekatinya. Aku bengong sendiri melihatnya. Tanpa banyak bertanya lagi, aku melewatinya dan duduk di bangku-ku. Aku tak penasaran dengan apa yang dikerjakannya sekarang, tapi ini sungguh mengganggu.
Meja sepanjang kurang lebih semeter setengah ini, keseluruhannya seolah dimiliki sendiri olehnya. Ada hampir sepuluh buku beserta alat tulis yang berserakan di sepanjang meja, dan sekarang merayap menaiki tasku. Sedangkan orang di sampingku ini sedang fokus membaca sebuah buku —entahlah buku apa, aku tak tertarik juga. Duduk bersender dengan sebuah pulpen yang terselip di telinganya.
Kelas mulai ramai.
Dia mulai merogoh-rogoh tasnya, setelah tadi melempar barang-barangnya kesana-kemari.
“Lagi ngapain sih?” tanyaku.
“Pena aku mana?” tanya Daffa dengan wajah polosnya.
“Itu....” Aku menunjuk kupingnya.
Tapi Daffa justru memalingkan wajahnya.
Aku mencopot pulpen itu dari telinganya, “ini yang kamu cari kan?”
Daffa mengengguk.
Aku menyerahkan pulpen itu dan dia menyambutnya.
“Kha, lupa kalau ada di kuping dari tadi.” Dia menyengir. Aku rasa dia malu.
Aku balas tersenyum.
Plak....
“Akh...” ringisku.
Sebuah benda telah menghantam kepalaku, lantas terjatuh di lantai. Aku menjemputnya, sambil menyusap kepalaku yang sedikit sakit. Kotak kecil? Ini berisi salap.
“Pagi Rachel!” si Siamang menyapaku.
“Kamu yang ngelempar ini kan?”
“Kok tahu sih?”
“Selain kamu siapa lagi.”
“Itu tahu.”
“Ngapain sih? Ini buat apaan coba?”
“Tangan kamu kan gatel, dioles itu dijamin ilang!”
Pluk....
Aku menepuk salap itu di jidat Rafael. “Gak perlu makasih! Kemarin udah diobatin, ini udah gak gatal lagi. Gak perlu sungkan.”
“Serius coba lihat!” Rafael menarik tanganku.
Aku menahannya. “Kamu mau ngapain lagi?” Tatapku penuh selidik.
“Cuma mau meriksa.”
“Bukan Dokter juga ngapain meriksa?”
“Lihat!” Rafael menarik kembali tanganku. Dia menyipitkan matanya—memandang dengan cermat, lantas menggaruk tanganku.
Aku sontak menarik kembali tanganku. “Kamu ngapain tadi? Garuk-garuk....”
“Beneran gak gatal?”
“Udah dibilang enggak, geli tahu!”
“Mau lagi?” godanya dengan cengiran menyebalkannya itu.
“Udah ah. Sepeda aku mana?”
“Ada kok!” ujar Rafael sambil berlalu.