Sekali lagi aku meneguk isi botol air mineralku, Daffa duduk santai di sebelahku memandang macetnya jalan raya dari balik kaca bus. Bus penuh sesak oleh para pekerja yang baru pulang, belum lagi macetnya yang sudah berlangsung dari sepuluh menit yang lalu. Jam pulang kantor selalu seperti ini, tapi aku tak terbiasa terjebak diantara sesak dengan berbagai bau yang memenuhi kotak bergerak ini.
Tapi seharusnya aku bersyukur saja, untungnya Daffa berbaik hati mengantarkan kupulang. Dan suasananya menjadi canggung sekali setiba menaiki bus ini tadi. Kami tidak berbicara sedikitpun. Aku rasa dia juga berpikir kami tidak sedekat itu untuk bertingkah seperti teman lama, ini bahkan baru hari keduaku bertemu dengannya. Selama masa orientasi aku memang tidak terlalu menonjol, dan tidak juga begitu memperhatikan orang-orang disekitarku. Aku bahkan hanya hadir di hari pertama masuk, aku harus izin untuk mengikuti lomba renang gaya bebas—meski aku gagal mendapatkan medali.
Karena itu aku bahkan tidak tahu bila Aci terutama Rafael ternyata satu sekolah denganku. Aku memang terlalu sibuk mengejar mimpiku, hingga tidak memperdulikan bagaimana pergaulanku. Bus menepi.
“Aku harus turun,” ujarku.
“Oh iya.” Daffa mengengguk.
“Makasih ya!”
“Gak masalah kok....”
Aku bangkit dari dudukku, berusaha melewati kerumunan orang-orang dewasa di depanku. Tidak ada celah, aku tidak bisa lewat.
“Permisi... permisi!” Aku masih tak dapat melewati mereka.
Daffa berdiri lantas menyambut tanganku, menuntunku keluar dari bus. Tangannya yang sedikit lebih besar dari milikku menggenggam erat mencegahnya terlepas.
“Tunggu sebentar Pak!” teriak Daffa pada supir bus.
Kami berhasil keluar dari bus.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Daffa.
“Iya gak jauh lagi kok!” balasku.
Dia masih menggenggam tanganku. Daffa mengengguk.
“Aku harus naik lagi.” Daffa melepaskan genggamannya, lantas memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
“Oh iya, sampai ketemu besok!” Aku mengangkat telapak tanganku di hadapannya.
“Oke, sampai ketemu besok!” Daffa masuk lagi ke dalam bus yang kemudian meninggalkan halte ini.
Ini bukan saatnya untuk terbawa perasaan, aku harus segera menemui Rafael. Aku menyusuri kawasan perumahan kami, memeriksa rumah dengan nomor 26. Aku baru ingat pernah mengunjungi rumahnya dengan teman-teman saat lebaran waktu kelas lima, itu adalah waktu yang bersejarah bagiku.
Rafael meledakkan ban sepedaku yang kempes saat memompanya, dan semenjak hari itu aku tak bicara lagi padanya selama dua hari. Tapi di hari ketiga dia justru membuatku dihukum berdiri dengan satu kaki karena tidak mengumpulkan pr, setelah dia menyembunyikan buku pr bahasa inggrisku. Aku tak tahu mengapa dia begitu membenciku, bukankah seharus sebaliknya. Namun mau bagaimana pun aku tetap tidak bisa membencinya.
Ini dia, rumah besar dan cukup mewah dengan pagar tertutup beserta nomor 26 yang menempel pada dinding temboknya. Aku memencet bel rumahnya. Menunggu cukup lama hingga seorang penjaga membukanya.
“Cari siapa dek?” tanya penjaga rumah ini.
“Rafael ada pak?”
“Oh ada, masuk aja dek!”
Aku melangkah masuk melewati pagar, di ujung sana dapat kulihat sepeda merah jambuku terparkir rapi. Tapi aku tak yakin tidak apa-apakan oleh Rafael, entah sedikit lecet, bannya bocor, atau rantainya putus. Yang jelas pasti ada yang berubah dengan sepedaku. Aku berjalan mendekati sepedaku, meneliti satu-satu dari bagian sepeda.
“Kemarin rantainya lepas, tapi udah diperbaiki kok!” jelas Rafael yang tiba-tiba muncul di belakangku.
“Sapa dulu kek, kaget tau!” omelku.
“Heemm hemm....” Rafael mengengguk-ngenggukkan kepalanya, tak peduli dengan omelanku.
“Nyebelin banget sih! Kamu tau gak susahnya aku hari ini gara-gara kamu? Aku gak minta kamu buat baikkin aku, cukup jangan ganggu aku! Bisa?”
“Agak susah sih!”
“Haah....” aku menghembuskan nafas kesal.
“Selama ini aku aku gak pernah bikin ratainya sampai lepas, tapi ini cuma sekali dipakai kamu. Aku gak bisa bayangin bakal jadi kayak gimana kalau lebih lama lagi. Kamu selalu sengaja melakukan segala hal untuk membuat aku jadi benci sama kamu.”
“Udah ngomelnya?”
“Kamu dengerin aku gak sih?” teriakku.
“Aku gak bisa benci kamu Rafa, aku gak mau sampai benci kamu. Jadi aku mohon jangan ganggu aku lagi, aku udah muak dengan semuanya. Dari dua tahun yang lalu aku berusaha sabar dengan tingkah kamu yang sangat kekanakan, hari-hari aku gak ada yang menyenangkan gara-gara kamu, aku sama sekali gak bahagia. Aku gak tahu kenapa kamu sebenci ini sama aku.”
“Terus?”
“Terus? Haah? Tertanya emang gak ada gunanya ya ngomong sama orang yang gak punya hati!”