Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #7

6. Pink Carnation

Rafael beruntung karena ibu kantin baik, bersedia membiarkan dia berhutang untuk makan sorenya tadi. Dan sekarang kami berjalan bersisian hendak pulang. Sopir Rafael masih menunggu sedari jam pulang tadi. Anak ini benar-benar merepotkan orang lain.

“Mau diantari pulang gak Chel?” tanya Rafael yang mengikuti hingga ke parkiran.

“Gak perlu aku bisa naik sepeda!”

“Gak apa-apa, sepedanya bisa dimasukin di bagasi.”

“Emang muat? Ini bukan sepeda lipat loh!” Aku mengangkat standar sepedaku.

Rafael menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aku menaiki sepedaku. “Ya udah aku duluan ya!”

“Tunggu Chel! Ada yang mau aku bilang!”

“Apa lagi?”

“Sama seperti kamu, aku gak bisa benci kamu Chel! Dan aku gak pernah benci sama kamu!”

Aku menatap matanya. “Tapi kenapa kamu nyakitin aku terus?”

“Maaf!” Rafael menunduk.

Aku memalingkan wajahku. “Ya udah lah! Aku pulang!”

Aku mendayung sepedaku meninggalkan sekolah ini dengan Rafael yang masih berdiri di tempat tadi. Aku tak akan memperdulikannya lagi.

Byur... byur... byur....

Seperti yang kukatakan sebelumnya, dengan berenang akan membuat perasaanku lebih baik. Sepertinya di usiaku sekarang, segala sesuatu akan menjadi masalah bagiku. Sedangkan aku masih belum tahu cara menghadapinya. Apa tindakanku sebelumnya adalah hal baik atau buruk, aku tak tahu jawabannya. Aku hanya mengandalkan egoku.

Menatap permukaan kolam sedalam tiga meter yang dipenuhi oleh air jernih. Suara ribut anak-anak di sekitar kolam teredam oleh telingaku yang berada di dalam air. Membuatku lebih fokus untuk merenung. Tapi hidungku takkan bertahan lama di dalam air. Coach Hanum sedang melatih anak-anak lain di kolam berbeda. Hanya aku sendiri di kolam besar ini, sedang mengapung.

BYURR....

Seseorang mengangkat tubuhku, dan aku memberontak.

“Rachel, are you okay?” tanya coach Hanum yang mengangkat tubuhku ke tepi kolam.

Aku mengusap wajahku. “Rachel baik-baik aja kok coach!”

“Jadi, tadi kenapa badan kamu ngambang_?”

Aku menahan tawaku.

“Rachel! Sudah coach bilang jangan begitu lagi! Hilangin kebiasaan buruk kamu itu! Kamu tahu seberapa takutnya coach tadi?” coach Hanum mengomeli.

“Maaf coach....”

“Sama seperti sebelumnya! Coach pikir kamu kram, gak bisa berenang, kehabisan nafas, terus ngambang! Bisa tutup tempat ini kalau begitu kejadiannya.”

Aku merapatkan mulutku, masih menahan tawa.

“Kalau mau ketawa, ketawa aja!” coach tetap mengomel.

Aku merubah raut wajahku, tak jadi berniat tertawa.

“Pertandingan kamu sudah lewat dari dua minggu yang lalu, dan kamu sudah pernah ngambang sehari setelah pertandingan! Kamu selalu saja begitu setiap kalah pertandingan.”

“Bukan karena itu kok coach....”

“Terus karena apa? Gak... pokoknya mulai sekarang kamu dilarang berenang di kolam ini lagi! Got it?”

“Yah, kok gitu sih coach? Rachel janji gak bakal gitu lagi, tapi jangan larang Rachel berenang di sini ya... Rachel janji kok coach!” Aku memelas.

“Sekali gak, gak selamanya! Kamu gak boleh berenang di sini sendirian lagi! Kalau terjadi hal buruk sama kamu, coach mungkin gak tahu. Jadi kamu harus berkumpul di tempat yang sama dengan yang lain, dengan begitu coach bisa mengawasi kalian semua. Ini demi kebaikan kamu Rachel! Paham?”

“Paham coach!” jawabku lantang meski tidak menerima keputusan itu.

“Rachel pulang! Assalamualaikum orang rumah....” teriakku ketika sampai di rumah.

“Waalaikumussalam Non Rachel....” balas mbak Rumi dan mbok Desi bersamaan dari dalam dapur.

“Rachel Rachel Rachel....” panggil mama yang terburu-buru menuruni tangga.

“Pelan pelan pelan pelan! Kenapa sih Ma?” tanyaku bingung.

Mama menghampiriku. “Mama tadi lupa beli bunga untuk hiasan meja makan. Malam ini kita ada tamu penting, mbak Rumi dan mbok Desi lagi sibuk masak, mas Bimo lagi bantuin mama bersih-bersih. Kamu tolong pergi beli bunga ya!” jelas mama.

“Loh Rachel baru aja sampe rumah! Capek habis latihan.... Suruh kak Ayu aja Ma!”

“Kakak kamu belum pulang. Sibuk terus ngurus rapat osis! Ini uangnya, cepat beli sebelum gelap!” Mama memberikan uang padaku lantas pergi begitu saja.

“Eh, tapi beli bunga apa?”

“Terserah terserah....” teriak mama.

“Tapi Rachel mau man_”

“Nanti aja! Beliin bunganya dulu! Oh ya, kamu bukain pintu kamarnya Coco sama Tiji, masa tahanan mereka udah habis.” Teriak mama lagi.

“Iya iya....”

Lihat selengkapnya