Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #8

7. Piaraan

Pletakk....

“Aakh....” ringis Daffa sambil mengusap jidat mulus berharganya.

“Ini udah yang keenam kalinya loh! Tinggal dua lagi bakal ngalahin rekor kemarin!” nyinyirku.

“Kamu jitaknya keras banget! Sakit tau!”

“Masa sih? Kamu aja kali yang cengeng!”

Daffa memutar posisi duduknya menghadapku. “Bisa kasih keringan dikit gak? Jitaknya lembut-lembut.... Susah loh merubah kebiasaan gini!” Daffa memelas.

“Kebiasaan seenaknya maksud kamu?”

Daffa bungkam.

“Simbiosis parasitisme? Kamu untung, aku yang rugi?”

“Gak mesti begitu kok. Kamu tau kan aku lumayan bisa belajar, kalau ada pelajaran yang kurang kamu ngerti kamu bisa tanya aku!”

“Aku rasa gak perlu, aku juga lumayan bisa belajar!”

“Terus gimana dong? Mejanya kita potong dua sama rata? Mau?” Daffa frustasi.

“Kalau dibolehin udah dari dulu tau!”

“Gini aja deh, kamu tau yang namanya toleransi kan? Toleransi?”

“Kenapa emang?”

“Toleransi ada karena apa? Perbedaan! Yap perbedaan! Toleransi singkatnya menghargai perbedaan bukan? Tapi bukan hanya menghargai tapi juga dengan bersikap sabar atas perbedaan itu walau kamu tidak setuju.”

“Terus?” aku memotong penjelasannya.

“Ly kamu juga sadar kalau kita ini beda ya kan? Meski begitu kita ini sesama manusia, sebangsa, saudara, sepasang insan, aliran darah kita sama! Kita harus saling menghargai, menghormati, mencintai, menyanyangi satu sama lain! Ya kan?”

“Yaa... mungkin....” Aku tak berani membalas Daffa yang menatapku lekat, wajahku rasanya memanas.

“Terus kenapa?” tanyaku lagi, berusaha bersikap sewajarnya.

“Karena itu kamu harus sabar ya! Karena aku mungkin gak bakal berubah.” celetuk Daffa.

“Gak! Apaan begitu? Pokoknya kalau siku kamu atau barang-barang kamu yang bejibun itu melewati garis ini lagi, siap-siap aja jidat kamu bakal lebih menderita lagi! Jitakanku bakal lebih keras dua kali lipat dari tadi!” Kesadaraanku kembali.

“Kamu gak liat? Ini jidat udah merah banget setiap hari kamu jitak!” keluh Daffa.

“Biarin!!” teriakku.

Daffa tak bersuara lagi. Hanya dengusan kekesalannya saja yang terdengar. Jangan remehkan Rachel yang bertubuh kecil ini, sekali mengajakku berkompromi aku takkan mengalah sedikitpun selama aku merasa bahwa aku benar.

Guru mata pelajaran IPA kembali masuk setelah keluar kelas meninggalkan tugas. Beliau mennyuruh kami mengumpulkan tugas di mejanya. Sepupuku yang berkaca mata bernama Shidqi itu mengumpulkan tugasnya paling pertama. Aku tersenyum padanya saat kami saling bertemu pandang, dan dia pun balas tersenyum. Canggung sekali.

Bel istirahat siang berbunyi.

“Kantin yuk!” ajak Aci.

“Ayuk!” balasku.

Aku keluar melewati belakang Daffa lalu menjentik belakang kepalanya.

“Akh!” ringis Daffa lagi.

Dia menoleh dengan tatap mata tajam padaku, aku balas menjulurkan lidahku. Itu balasan untuknya karena menyikut lenganku dan membuatku mencoret jawaban di buku yang hampir selesai tadi. Daffa masih memandang kesal padaku yang merangkul lengan Aci dan Dea membawa mereka ke kantin bersamaku.

Aku meletakkan piringku di depan Shidqi yang makan siang sendirian di meja yang luas. Aku duduk di depannya sambil kembali tersenyum. Shidqi dengan canggung membalas senyumku. Dea dan Aci ikut menyusulku meletakkan piring mereka dan duduk di sampingku.

“Shidqi awak ni saudara Lily tapi ngapa tak cakap?” tanya Aci dengan terbata-bata dengan bahasa melayunya yang entah benar atau tidak.

“Ya iyalah, kamu gak pernah nanya!” balas Dea dengan ketus.

Aci menepuk lengan Dea. “Basa-basi dikit ngerti gak?” bisik Aci.

“Oh ya? Shidqi kaca mata you bagus, ai suka! Mantap!” celetuk Dea sambil mengacungkan jempolnya.

Aci kembali menepuk lengan Dea.

“Saya terkejut melihat awak malam tadi. Saya tidak tahu sama ada anda dan keluarga anda berpindah ke Indonesia. Saya tidak fikir kita bersaudara....” ujarku sambil membaca translate dari google.

“Ly! Aku lancar kok bahasa Indonesia. Santai aja!” lirih Shidqi.

Aku langsung mematikan layar ponselku, pelan-pelan memasukkannya dalam saku rok biru-ku. Dia tidak sadar aku menggunakan google translate kan?

“Kalau gitu gak bilang dari tadi sih! Jadi malu tau!” rengek Aci.

“Jangan nangis! Nanti tambah malu!” celetuk Dea.

“Apaan sih Dea?”

“Untunglah kamu bisa ngomong indonesia. Kalau gak bakal repot!” ujatku.

“Haha.... jadi repot harus buka hp ya gak?” untuk pertama kalinya aku melihat Shidqi tertawa.

“Jadi kamu tau?”

Lihat selengkapnya