“Kalian jadian?” Aku keluar dari persembunyianku.
“Sejak kapan kamu di situ?”
“Baru aja kok! Tapi bukannya kalian_?”
“Kayaknya aku harus pergi sekarang! Ketemu besok ya!” ujar Daffa pada Kak Shifa.
“Iya, nanti malam telephon ya!” pinta Kak Shifa malu-malu.
Daffa menampakkan senyumnya, senyum tarmanis yang pernah kulihat darinya. Dia mengengguk. Lantas meninggalkan lapangan belakang ini, melintas melewatiku. Aku berdiri terpaku merasakan betapa dinginnya hawa yang menyapaku tadi, menyadari betapa dinginnya dia padaku saat ini. Tapi hanya sebentar aku menyusulnya di belakang, mengekori seperti anak ayam yang tak berhenti bercicit. Aku terus mengoceh.
“Yang tadi itu beneran?”
“Aku gak salah denger kan?”
“Tapi kamu ngapain sih, romantis banget sampai ngikatin rambut dia.”
“Kalian masih kecil, ngapain pake acara pacaran-pacaran segala?”
“Sekolah kan buat belajar bukan pacaran!”
“Nanti nilai kamu bisa turun loh!”
“Umur kamu berapa sih?”
“Kamu emang suka sama yang lebih tua ya? Kakak-kakak!”
“Kalau karena gosip gak usah di peduliin, nanti juga orang-orang bakal bosan sendiri! Kamu gak mesti sampai begini!”
“Terus?” Daffa berhenti, berbalik badan menghadapku.
“Mau kamu apa? Kamu dikerjain lagi sama Rafael? Sepeda kamu diapain lagi sama dia? Kamu minta tolong aku buat ngantarin kamu pulang?” tanya Daffa balik, bertubi-tubi.
“Enggak kok!” jawabku singkat.
“Terus tadi kenapa kamu ada di sana? Itu bukan kebetulan kan? Kamu cari aku?”
“Itu... aku....”
“Apa?”
“Iya! Aku selalu ngikutin kamu! Aku selalu ngintip kalian berdua! Aku... aku gak tau kenapa aku lakuin itu!” ujarku sambil menunduk, tak berani memandangnya.
“Sejak kapan urusanku jadi urusan kamu? Kenapa kamu peduli? Bukannya sebelumnya kamu gak mau terlibat hal sekecil apapun denganku?”
“Tapi kamu juga perlu sampai sejauh itu dengan Kak Shifa, dia kan cuma orang yang ngajarin kamu main gitar! Gak lebih kan?”
“Sebelumnya kamu bahkan gak mau tau apapun tentang aku, kenapa sekarang jadi sekepo ini? Lagi pula, tau apa kamu soal kita?”
“Aku tau kok, kamu sering ketemu dia waktu pulang sekolah. Belajar gitar sama dia, tukaran buku terus baca bareng, kamu juga sering bawain tas dia yang berat!”
“Itu yang kamu lihat kan? Kamu tau apa yang gak bisa kamu lihat dengan mata kamu?”
“Apa?”
“Kamu bahkan gak tau alasan kamu peduli.... Berenti melakukan sesuatu yang gak kamu sendiri gak tau kenapa kamu melakukannya, kamu cuma bakal capek sendiri! Dan aku gak peduli itu!” ucap Daffa, setelah kemudian berbalik meninggalkanku.
Aku diam berdiri memandang punggungnya yang perlahan menjauh dariku. Namun tak lama dia berhenti dan menghadapku ladi.
“Kamu ngerti maksudnya kan? Urus urusan kamu sendiri!” Daffa kembali berjalan menjauh.
Tanpa sadar air mataku jatuh. Menatap kepergian Daffa tanpa berkedip sekalipun. Apa aku melakukan kesalahan? Tapi aku tak tahu apa itu. Aku sungguh tak mengerti mengapa aku menangis. Tiba-tiba aku merasa sedih sekali tapi aku juga memaksa diri untuk berbahagia. Aku bingung sekali dengan diriku sendiri.
“Gosip baru mau dengar gak?” tanya Aci menghentikan makannya.
“Tiap hari juga gosip baru. Hari ini apa lagi?” celetuk Dea sambil mengunyah.
Aku cepat-cepat menghabiskan isi piringku, nafsu makanku berganda mejadi dua kali lipat dari sebelumnya. Teka-teki ini terus menghantuiku sejak dua hari yang lalu, dan aku butuh banyak tenaga untuk berpikir keras. Aku tak terlalu memperhatikan Aci yang mulai bergosip.
“Eh jangan salah! Ini tuh gosip paling yang lagi booming bommingnya! Tranding topik di seluruh penjuru sekolah! Cuma orang-orang pada diam-diam ngomonginnya!”
“Apa lagi sih? Bikin risih aja!” ucap Dea.
“Iih Dea, awas aja ya kalau sampai kaget dengernya!” ancam Aci.
Aku masih tidak terlalu peduli. Aku menjemput gelas minumanku.
“Daffa sama Kak Shifa putus!” bisik Aci.
“SIALAN!!!” teriak Dea.