“Tunggu!” Aku berjinjit, mengusap ujung mata Rafael.
“Kamu kelilipan bulu mata kamu sendiri.”
Rafael menyengir, “bulu matanya jatuh, pasti ada yang kangen sama aku.”
“Masa? Coba cari tahu siapa!”
Aku dan Rafael kompak, menapakkan beberapa jari tangan kami.
“A B C D E F G H I J...” ucapku ada Rafael bersamaan.
“Jennie blackpink!” ujar Rafael.
“Justin Bieber,” sambungku.
“Jessie J.”
“Jefri Nichol.”
“Jessika Iskandar.”
“Justin Seagull!”
“Jenita Janet.”
“Jackie Chan!”
“Jarwo Kwat!”
“Jahyudi.”
“Siapa tuh?”
“Tukang aspal jalan bintaro!”
Aku dan Rafael terkekeh bersama. Kembali melangkahkan kaki satu-persatu, melewati lantai kramik grayschale di lorong yang begitu sepi dengan kelas-kelas yang masih kosong tak berpenghuni. Tiang-tiang jati berdiri kokoh menopang genteng tanah liat yang sudah mulai memudar catnya memperlihatkan lapangan upacara dan seorang penjaga sekolah yang kembali menurunkan bendera merah-putih yang sudah dinaikkankannya pagi-pagi sekali, sepertinya beliau baru sadar bahwa bendera yang dinaikkannya warnanya terbalik, putih-merah.
Matahari muncul dari balik gedung-gedung tinggi di kota yang sibuk ini, binaran cahayanya terlihat dapat kurasakan panasnya. Sama seperti lelaki yang berjalan bersisian denganku sekarang, hangatnya membuatku merasa lebih baik dari sebelumnya. Aku tersenyum melihatnya yang beberapa kali menguap, matanya menjadi berair.
“Jadi?” aku membuka kembali percakapan.
Rafael mengerutkan dahinya, “apa?”
“Katanya mau jadi teman aku, kalau gitu lepasin tas kamu!” aku meminta padanya sembari ikut melepaskan tas beratku dari pangkuan.
“Buat apaan?” Rafael dengan wajah bodohnya bertanya sambil menyerahkan tasnya padaku dengan tetap merangkul tumpukan buku paketku.
Aku mengambil tasnya dan memasangkan tas merah jambuku di pundaknya. “Tukaran ya!” Aku menyelonong mendahului Rafael dengan meniru cengiran khasnya.
Rafael yang melongo mempercepat langkahnya mengekoriku. “Kenapa mesti tukaran? Ini gak cocok banget sama image aku. Masa gaya brandalan sekolah begini, gak pake dasi, kancing kebuka, baju keluar, rambut acak adul begini bawa-bawa ransel pink kemana-mana,” bisik Rafael di telingaku.
“Habis gimana dong, ini tas masih baru aku masih gak punya niatan buat ganti tas baru lagi. Lagi pula, bahu aku sakit-sakitan terus habis bawa-bawa tas berat ini, kamu pastinya gak mau kan kalau aku capek mulu karena ngepangku tas berat ini, kamu kan teman baik-ku! Ya kan Rafael?”
Rafael mengengguk nurut, “oke aku paham!”
“Bagus deh kalau kamu paham, besok tukaran lagi ya!”
“Serius harus?”
Aku mengengguk penuh penekanan, dengan bibir mengetup rapat. “Btw ini tas kamu ringan banget kayak bulu! Enak banget deh kalau tiap hari bawa-bawa yang beginian.”
“Tapi, kamu nemuin tambang ya di sekolah ini?”
“Tambang? Ya kali.”
“Apa ini isinya bata semua? Berapa puluh kilo ini beratnya?”
“Gak usah ngeluh deh, cuma tambah satu blender.”
“Ngapain bawa blender segala ke sekolah?”
“Dasar ya, kamu gak ingat hari ini kita ada praktek masak?”
“Siapa bilang?”
“Kita kan sekelompok! Kamu bawa panci gak?”
“Ngapain bawa panci?”
“Rafael, seminggu yang lalu kan aku suruh kamu bawa panci!”
“Aku kan tidur sepanjang pagi, kapan kamu kasih tahu?”