Aku meletakkan piring serta gelasku di atas meja, begitu juga Rafael. Kami menghimpit Daffa yang sedang makan siang berhadapan dengan Kak Shifa. Kak Shifa nampak sangat heran mengapa disaat cuaca sedang gerah seperti ini, angin pun jarang berlalu tapi kami dengan santai mengganggu kencan sekolah mereka. Dan yang dihimpit karena meresa terusik mulai berontak.
“Masih ada banyak meja kosong, kenapa kalian ikut duduk di sini.” Daffa berusaha mengusir lalat seperti kami.
“Daffa kerupuknya kurang ya, ini ambil punya aku semua.” Aku mengoper kerupuk di piring nasi gorengku ke piring Daffa yang juga makan nasi goreng.
“Telur ceplok habis Bro? Ini makan punya gue!” Rafael ikut memberikan telur ceploknya pada Daffa.
“Ini punya aku juga!” Aku memberikan telur ceplokku. “Ayamnya juga nih!”
“Ini timunnya gue tambahin.”
“Daffa doyan sambel kan, ini tambah sama punya aku.”
“Nasinya kurang bro? Ni nih gue tambahin!”
“Aku pungutin daun bawangnya, Daffa gak suka kan?” Aku sibuk memungut daun bawang.
“Kenapa gak lanjut makan? Sini sini gue suapin!” Rafael melayang-layangkan sendok dengan penuh nasi di depan hidung Daffa.
“Stop stop stop ini apa-apaan sih?” teriak Daffa.
“Gak gak apa-apa, sini Daffa buka mulutnya aaaakkk....” Rafael terus berusaha menyuapi Daffa.
Aku menepuk tangan Rafael, membuat nasi di sendoknya terhambur di atas meja. “Dia gak mau cowok yang nyuapin! Ini Daffa, aaakk....”
Rafael menarik tanganku, menyuap nasi di sendok untuk Daffa.
“Iih Rafael! Ini tadi tuh buat Daffa. Ayok buka mulutnya Daffa!”
Rafael kembali berusaha menarik tanganku, namun aku berkeras menahan. Alhasil sendok di hadapan wajah Daffa dengan nasi berminyak itu melambung menghiasi wajah tampannya, menempel meninggalkan jejak-jejak kecap dan saos. Wajah Daffa merah padam.
“Tuh kan.... gara-gara kamu Rafael....” Aku berusaha membersihkan wajah Daffa.
Plaak....
“Jangan pegang-pegang!” titah Rafael setelah menepuk tanganku. “Biar aku aja!”
Rafael berusaha membersihkan wajah Daffa dengan tisu namun Daffa sontak menjauhkan wajahnya dan mendorong Rafael hingga terjungkal ke belakang.
“ADUH!!” Rafael mengaduh mengusap punggungnya yang pertama mendarat di lantai.
“Pftt.... hahahaha....” tawaku pecah.
“Hahahaha....” Kak Shifa pun ikut tertawa.
Dan Daffa dengan sendirinya mengusap wajahnya yang belepotan dengan tisu.
“Hahaha.... kalian mau apa sih dari Daffa?” Kak Shifa bertanya, dia memang peka.
“Daffa tolongin kita dong!” pintaku.
“Tolongin apa?”
“Tugasnya Pak Budi! Gila tuh Pak Budi ngasih tugas gak mikir-mikir, kita yang ngerjain tugas mikir sampai laut terdalam, samudra terluas, gunung tertinggi, planet terjauh, langit ke tujuh, udah nemu surga itu!” celoteh Rafael.
“Emang otak kamu pernah di pakai mikir?” sambungku.
“Ya pernah lah, aku gak bakal mikirin kamu kalau gak pakai otak....” ungkap Rafael.
Aku menjitak kepalanya, Rafael pun hanya terkekeh.
“Kalian tahu kan karena siapa aku juga dapat tugas itu?” Akhirnya Daffa membuka suara.
“Karena Rafael!” teriakku.
“Lah kok aku yang di salahin?”
“Kan kamu yang mau minta contekan!”
“Kan kamu nyontek juga!”
“Aku gak bakal nyontek kalau gak kamu suruh!”
“Aku gak maksa kamu nyontek juga!”
“Pokoknya itu gara-gara kamu!”
“Loh?”
“Udah lah, kalian berdua sama aja!” Daffa beranjak dari tempat duduknya, keluar dari kantin.