Aku berjalan di sisinya lagi, rasanya tetap sama begitu menyenangkan. Saksikan tatapan dari cewek-cewek yang hanya bisa memandang hiri tanpa dapat melakukan apapun. Aku sungguh berkuasa dalam hal ini, hanya aku yang bisa dekat dengan Daffa tanpa dimusuhi oleh satu orang pun. Dan lagi mereka memandang wajar seorang leader daffodils dekat dengan idolanya sendiri. Dan aku menyukai ini, situasi ini, berbincang dengannya, menatap matanya dan aku suka dia.
“Daf, kamu gak keberatan kalau aku?”
“Ly, udahin semuanya. Kita udah kelas sembilan, tinggal beberapa bulan lagi kita UN. Aku mau fokus belajar, gak punya waktu buat ngurusin fans club gituan. Kamu juga harus belajar, aku tahu kamu keropotan dengan tanggung jawab kamu. Kalian gak dapat apapun juga dari aku. Kamu bisa kembali ke kehidupan kamu tanpa sibuk ngurusin anak-anak. Kita juga harus jaga jarak mulai dari sekarang, karena selama aku dekat sama kamu, mereka akan terus memantau aku. Jadi tugas terakhir kamu di sini yaitu membuat mereka mengerti dan bubarin daffodils. Jujur, aku gak pernah suka dengan adanya kalian, ini cuma jadi beban buat aku. Aku harap kamu ngerti itu.”
“Kok tiba-tiba?” lirihku.
“Ini gak tiba-tiba kok. Aku udah berpikir berulang kali untuk bilang hal ini sama kamu. Kita harus jaga jarak. Ini agak susah karena kita sekelas, jadi kalau gak ada urusan selain tugas jangan dekatin aku lagi. Kamu harus belajar rajin, atau gak akan di terima di SMA 1.”
“Kamu niat masuk sana?” aku bertanya dengan malas.
Daffa tersenyum tipis, “semua anak-anak yang bakal lulus juga berharap bisa masuk sana. Temuin aku di sana, mungkin setelah itu kita bisa benar-benar bisa jadi teman_atau mungkin lebih?”
“Itu gak menutup kenyataan, kalau mulai hari ini aku harus menganggap semua yang lalu itu sebagai lucid dream.”
“Anggap aja gitu, karena setelah itu kamu terbangun dan dapat hidup seperti biasa.”
“Tapi aku udah terbiasa hidup begini dalam dua tahun terakhir.”
“Bukannya itu cuma mimpi?”
Aku terdiam, memandang nanar mata coklatnya. Yang dipandang hanya mengangkat bahu sedikit.
“Kalau itu mau kamu, aku bakal akhirin apa yang aku mulai. Maaf kalau selama ini aku nganggu kamu.”
“Bagus lah kalau kamu ngerti.” Daffa berajak dari tempatnya berdiri, mendahuluiku, menginggalkanku berdiri kaku di sini.
Dalu aku yang mendahuluimu saat kita pertama kali bertemu, sekarang kubiarkan kau yang mendahuluiku jika memang ini akhir dari semuanya. Aku takkan menganggumu lagi.
Seseorang merampas sendokku saat makan ketoprak di kantin.
“Loho kok kahem bahet hlii ni?”
Aku memandang sendu Rafael yang mengunyah ketoprakku, Rafael balas melihatku heran dan menelan begitu saja isi mulutnya. Rauh wajahnya langsung berubah.
“Pftt....” aku menahan tawa.
“Haah haah.... Wah gila, pedas banget!” lirihnya, kemudian sibuk mencari-cari minum.
Bibirku kecut menahan tawa melihat wajah memerahnya karena kepedasan.
“Sekarang gue tau kenapa lo tadi gak makan dan cuma sibuk ngaduk-ngaduk isi piring.” Rafael duduk di depanku.
“Ya bukan karena itu juga, gue emang sengaja pesannya pedes banget. Tapi emang gue kepedasan si, makanya gak gue makan lagi.”
“Kenapa makan sendiri? Mana tuh si tukang gosip Aci sama tukang jailin orang si Dea?”
“Mereka di suruh Bu Gea ke kantor. Tapi kalau mereka tukang gosip sama tukang jailin orang, terus gue apa dong?”
“Tukang tidur! Lo kenapa akhir-akhir ini jadi suka tidur di kelas sih?”
“Enak aja, lo kali yang tukang tidur!”
“Yee gue nanya serius.”
“Sekarang aku yang tanya deh, kamu kenapa sering tidur pas kelas?”