Memilih bertindak lebih baik dari pada terus diam di tempat.
***
Elysia duduk di sebuah sofa merah yang ada di ruang lukis Ayahnya, memperhatikan setiap ukiran pada kanvas putih yang mulai Ayahnya sentuh. Elysia sangat mengagumi Fannan, pekerja keras dan memiliki bakat fantastis.
"Ayah kalo seandainya El di terima di Universitas Luar Negeri nanti, apa Ayah izinin El keluar rumah?" Tanya Elysia hati-hati.
Elysia sangat berharap ia akan mendapatkan satu kesempatan untuk keluar dari ruangan sempit, ruangan yang begitu membosankan.
"Kamu tidak akan kuliah di sana." Jawab Fannan tanpa menatap putrinya.
"Kalo sore ini El ke-"
Fannan melempar kuasnya, lukisan yang tadinya hampir selesai pun menjadi rusak begitu saja "Jangan pernah nentang Ayah El! Sekali Ayah bilang engga, itu artinya engga."
Bibirnya menekuk, perkataan Ayahnya membuat mood Elysia hilang. Walaupun Elysia menangis darah dan memohon untuk ia bisa ke halaman saja, Fannan tidak akan pernah setuju "Tapi sampe kapan yah? El udah gede kok, El mau jadi hebat kaya Ayah."
"Kamu udah hebat di mata Ayah"
Elysia menghela nafas panjang. sepertinya ia akan terus membusuk di sini. Elysia tidak pernah lagi menghirup udara luar, ia merindukan itu. Jika seorang vampire haus akan darah, Elysia hanya haus akan udara segar.
Elysia juga sama seperti manusia lain. Punya keinginan, punya impian, punya harapan, hanya tidak mempunyai hak untuk mewujudkan. Fannan mengubur semua mimpi Elysia terlalu dalam, hingga Elysia sendiri sulit untuk menggalinya.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan pintu dari luar membuat Fannan begitu panik, ia langsung melihat ke jendela dan menghampiri Elysia yang masih duduk di sofa.
"Masuk ke kamar kamu sekarang, jangan pernah keluar sampai tamu Ayah pulang." Dengan sigap Fannan langsung mengangkat bahu Elysia, menuntun putrinya ke depan tangga menuju kamarnya.
"Iya Yah."
Setelah melihat Elysia masuk ke dalam kamarnya, Fannan pun membukakan pintu. Menyambut seorang kolektor berjas hitam yang akan membeli lukisannya. Dua jam yang lalu Fannan memang sudah mengadakan janji dengan Pak Afi.
"Silahkan masuk!" Fannan tersenyum sopan.
Seorang pria yang menyandang nama Afi itu mengangguk ramah, mengikuti Fannan yang membawanya ke sebuah ruangan yang penuh dengan koleksi lukisan.
"Mungkin anda akan menyukai lukisan ini?" Fannan memamerkan sebuah lukisan ombak di pesisir pantai.
"Saya suka lukisan itu." Pak Afi malah menunjuk sebuah lukisan seorang pria yang akan memakai topeng menyeramkan, setengah wajahnya tertutup topeng mengerikan.
"Lukisan itu memiliki arti."
"Apa?" Tanya Pak Afi penasaran.
"Lukisan itu menggambarkan tentang seseorang yang menyembunyikan niat baiknya di balik niat buruk yang dia lakukan."