Persahabatan itu terikat, semacam sebuah rantai yang sulit di pisahkan.
***
Elysia sudah dua kali pergi ke taman secara sembunyi-sembunyi. Jika ayahnya tau, sudah di pastikan Fannan akan marah.
Elysia juga tau apa yang telah ia lakukan itu salah, tapi biarkan Elysia berdamai dengan hatinya sendiri. Elysia perlu mencari jati dirinya, bukan menjadi seorang pengecut yang takut untuk melakukan suatu hal yang sebenarnya ia ingin lakukan sejak dulu.
Jika pujangga bilang melarikan diri itu adalah hal paling tak masuk akal, Elysia mengubahnya menjadi kewajiban mutlak yang harus ia laksanakan.
Elysia ingin bebas. Hanya sebuah harapan sederhana yang sulit ia gapai. Seperti menunggu mentari terbit di malam hari, seperti menunggu bulan datang menghampiri, maka seperti itu pula kemustahilannya terjadi.
Jika Fannan tidak ada di rumah, pasti Ayahnya akan menyuruh Daru untuk menjaga Elysia. Seperti sekarang ini.
Daru duduk di sebuah sofa dengan sebuah benda persegi di tangannya, ia sibuk dengan ponselnya. Biasanya Daru akan mengganggu Elysia, tapi kali ini Elysia harus merasa bersyukur karena Daru tidak melakukan hal itu.
Elysia tidak tau apa yang sedang Daru lakukan dengan ponselnya, tapi Elysia tidak peduli selama kegiatan Elysia berjalan dengan baik.
Sementara yang di lakukan Elysia tidak jauh dari menulis, membaca, dan belajar. Ayahnya bahkan tidak memberinya ponsel, hanya sebuah laptop yang ia pakai sebatas untuk home scooling. Tanpa media sosial, tanpa game, dan tanpa apapun selain mencari ilmu. Maka dari itu untuk mencari pelarian dari rasa bosannya pun Elysia akhirnya menulis di buku diarynya.
Daru menaruh ponselnya, menghampiri Elysia dan memperhatikan Elysia yang tidak sadar bahwa Daru sudah ada di belakangnya. Daru menarik buku yang sedang Elysia tulis, membuat coretan panjang yang Elysia lakukan pada bukunya.
Mengesalkan sekali.
"Daru balikin ih!" Elysia berusaha meraih tangan Daru yang diangkat tinggi.
"Bentar El liat dulu." Ucap Daru sambil menghindari tangan Elysia.
Daru menaiki tempat tidur Elysia, membuat seprai dan bantalnya berantakan.
"Daru!" Elysia menarik baju Daru, tapi tidak sedikit pun membuat Daru berhenti menatap buku diary Elysia.
Daru sangat penasaran, mungkin tidak apa jika sekali-kali Daru mengetahui rahasia Elysia kan? Lagi pula mereka sudah berteman lama jadi apa salahnya.
Daru membuka halaman pertamanya, membacanya lantang dengan berdiri di atas tempat tidur Elysia "Aku suka warna Biru. Seperti langit yang tersenyum cerah, seperti luasnya air laut, seperti mataku yang telah Tuhan ciptakan, seperti kutub es yang membeku. Jika orang melihat diriku mungkin mereka akan menyebutku girl blue, biarkan saja, aku akan senang mendengarnya. Banyak orang bilang biru itu simbol kesabaran, keteguhan, dan kesedihan...."
Daru terdiam sejenak menatap Elysia yang tidak lagi melakukan perlawanan, gadis itu hanya duduk menunduk di ujung tempat tidurnya. Membiarkan Daru bersenang-senang karena telah membuatnya kalah.
Elysia tidak ingin bertindak sekarang. Kenyataanya memang Elysia adalah gadis menyedihkan, tidak akan ada yang akan mengubahnya lagi.
Daru tau kalo buku diary itu adalah kata hati, tapi Daru baru menyadari bahwa Elysia merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Daru menatap tulisan-tulisan dalam buku Elysia kembali, namun kali ini ia membacanya tanpa suara dan duduk di samping Elysia.
"Aku rasa karena aku suka warna biru, makanya Tuhan kasih aku beberapa tumpuk kesedihan yang memilukan. Aku cuma minta Tuhan kabulin satu doa aku. Tolong, buat Ayah izinin aku bebas. Aku pengen kaya anak lainnya, bisa sekolah, bisa bermain, tidak kesepian."
Daru menutup bukunya, ia sendiri tidak sanggup untuk melanjutkannya lebih jauh. Elysia begitu cerdas menyembunyikan rasa sakitnya, Daru kira selama ini kehadirannya di samping Elysia sudah cukup membuatnya bahagia.
Tapi itu salah, kebahagiaan Elysia bukanlah saat seseorang ada di sisinya melainkan seseorang yang bisa membebaskan kesedihannya.