Tidak perlu membutuhkan beribu tahun untuk mencintaimu, melihatmu tersenyum saja sudah mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali.
***
Dering bel istirahat menggema di sekitar sekolah. Membuat orang yang selalu di puja di sekolah ini memutuskan untuk pergi ke kantin, di dampingi dengan kedua sahabatnya.
Tidak ada yang ingin mengabaikan rupa tampannya, semua pasang mata menatap ke satu arah. Damian.
Menatap Damian yang duduk di kursi kantin paling pojok.
Damian di kenal dengan sikapnya yang tidak peduli. Ia hanya bicara dengan seseorang seadanya, itu pun jika ia perlu. Maka dari itu ia tidak pernah memperhatikan setiap orang di sekitarnya, tidak terlalu penting juga untuknya.
Suasana kantin begitu ramai saat jam istirahat, semua siswa memilih tempat itu untuk menghabiskan jam istirahatnya. Sama seperti yang di lakukan Damian dan kedua sahabatnya ini.
"Mang bakso tiga ya." Pinta Leo kepada pedagang bakso yang di balas anggukan olehnya.
"Besok gue ada olimpiade matematika." Singgih memberi tau.
"Rekor! Dari sekian banyak murid pintar di sekolah ini, lo yang di pilih! Gila sahabat gue emang." Leo bertepuk tangan histeris, mengalihkan semua mata yang menatap Damian sedetik kemudian menatap ke arahnya.
"Kampret lo malu-maluin!" Singgih memukul kepala Leo dengan bukunya. Bahkan saat di kantin pun Singgih tidak meninggalkan bukunya, wajar saja jika Singgih juga adalah idaman para wanita.
"Lo makan apa dah sampe secerdas itu?" Tanya Leo setelah mendapat pukulan dari Singgih.
"Makan nasi lah. Kalo gue makan manusia, udah gue telen lo idup-idup." Singgih membuka mulut dan menutupnya cepat.
"Weh santai dong."
Tak lama seorang pedagang bakso menghampiri mereka dengan membawa pesanan yang telah di minta Leo, ketiganya segera menyantap makanan di hadapan mereka.
Sebelum akhirnya mereka menyelesaikan makannya, Damian harus melewati pertengkaran karena sambal yang Singgih tuangkan pada baksonya terlalu sedikit. Itu membuat tangan Leo sedikit bekerja untuk menuangkan beberapa sendok lagi pada bakso Singgih, padahal Leo tau kalau Singgih tidak menyukai pedas.
"Anjir! Gimana caranya gue makan kalo gini." Ucap Singgih tidak terima, mayoritas mangkuknya terisi sambal penuh bukan bakso lagi. Kuah baksonya berubah menjadi merah darah, karena Leo juga menuangkan saus yang terlalu berlebihan.
"Gue cuma kasian sama lidah lo, ga pernah ngerasain yang hot" Leo menyunggingkan senyumnya. Ada penekanan di kata hot nya itu.
"Jijik gue sama otak lo!" Singgih bergidik melihat wajah mengesalkan Leo.
"Mang Bakso satu ya." Ucap seorang lelaki pada pedagang bakso.
"Dar, gabung ga sini?" Leo melambaikan tangannya pada Daru, bersikap seolah kepada teman dekatnya sendiri.
Daru menoleh sesaat, setelah itu ia kembali menghadap pada pedang bakso. Mengabaikan tiga orang di belakangnya terutama satu pasang mata yang menatapnya sinis.
Seorang pedangan menyerahkan bakso, Daru harus melewati ketiga orang itu untuk sampai di bangku kosong dekat pintu.
"Gabung aja Dar sini, kita ga gigit kok." Timpal Singgih.
Daru tidak menggubris ajakan dari Leo maupun Singgih, ia hanya berjalan lurus tanpa melihat ke arah Damian sedikit pun. Melihat mata tajam Damian membuat matanya sakit.
Sama halnya seperti Damian, Damian tidak ingin melihat wajah itu. Wajah yang telah merenggut Papahnya.
Siapa yang tidak marah jika sesuatu milik kita di ambil begitu saja tanpa permisi.
Daru Erlangga, saudara tiri dari seorang Damian Ander Kahill. Damian sangat membenci Daru, terutama seorang pelacur yang menggoda Papahnya tidak lain adalah Ibunya Daru.
Awalnya Damian berteman baik dengan Daru, tapi takdir berkehendak lain. Saat ini Daru menjadi musuh terbesarnya, orang yang paling Damian benci di dunia ini.
"Yan apa salahnya sih lo akur sama sodara tiri lo sendiri?" Singgih mencoba memberi saran, Singgih hanya ingin agar tidak ada Dendam dalam hati seorang Damian.
"Perusak akan tetap menjadi perusak, itu udah hukum alam." Damian tersenyum kecut, sudah beberapa kali Singgih bicara seperti itu. Seharusnya Singgih mengerti bahwa walaupun Damian bertemam lagi dengan Daru, itu tidak akan mengembalikan kebahagiaan keluarganya dan tidak akan memulihkan hati Ibunya.
Singgih menegakan tubuhnya, menggeser mangkuk baksonya. Lagi pula selera makannya sudah hilang karena Leo "Itu bukan salah Daru Yan."
"Gue tau." Jawab Damian singkat.
Damian tidak menatap Singgih yang sedang menatapnya serius, ia justru memainkan game di ponselnya.
"Terus apa salahnya lo maafin dia?" Lanjut Singgih.
"Gue rasa lo cukup cerdas." Ia menaruh ponselnya, menatap lurus Singgih yang berada di depannya "Parasit itu akan mengambil sebagian bahkan seluruh energi tumbuhan bukan? Menghancurkan tumbuhan itu hingga mati tak tersisa. Terus apa lo akan biarin parasit gitu aja?"
"Yan, lo tuh terlalu keras kepala. Ego lo terlalu tinggi." Ucap Singgih menggurui.
"Lo bisa pergi kalo emang lo ga suka, lo boleh berteman sama dia." Damian menatap Daru sinis.
"Yan maksud gue-"
"Kalo lo punya kuping seharusnya lo bisa denger apa yang gue bilang tadi."
Damian tidak membentak Singgih, namun perkataannya sangat dingin. Mampu membuat kedua sahabatnya melebarkan mata tidak percaya.
Persahabatan yang di bangun selama tiga tahun harus kandas hanya karena masalah sekecil ini. Karena ego Damian sendiri yang menghancurkannya, bukan orang lain apalagi Daru.
"Ga bisa! Salah satu di antara kita ga boleh ada yang pergi." Kali ini Leo mulai bersuara, ia tidak bisa membiarkan kedua sahabatnya bertengkar.
Jika pertengkaran antara Leo dengan Singgih atau Leo dengan Damian itu tidak akan menjadi masalah. Tapi ini adalah pertengkaran antara Singgih dan Damian. Pertengkaran yang tidak biasa karena sejauh mereka bersahabat, Damian dan Singgih selalu satu jalan pikiran.
"Bukan gue yang mau, tapi dia yang minta." Singgih menunjuk Damian yang masih diam dengan ponsel di tanggannya.