Saat hatimu sudah jatuh, maka hati itu akan patah.
Elysia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, menuangkan semua rasa pedih yang menyiksanya sekarang.
Elysia belajar satu hal dari cinta, bahwa di balik rasa bahagia akan ada air mata yang setia.
Elysia bukan pengecut, Elysia tidak ingin ada orang lain yang menjadi korban atas cintanya. Daru sudah seperti kakaknya sendiri, Daru yang menemani Elysia sejak kecil.
Yang harus Elysia lakukan adalah bagaimana keduanya bisa hadir bersama dalam hidup Elysia tanpa ada yang merasa tersakiti.
Cinta memang rumit, semacam puzzle yang belum tersusun rapi. Tapi bagaimana puzzle itu akan utuh, jika Elysia tidak menyatukannya satu persatu.
"El." Daru membuka pintu kamar Elysia seperti biasa, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Kamu sakit El?" Tanya Daru lagi pada Elysia yang masih diam di bawah selimutnya.
"Dar kamu kenal Damian?" Tanya Elysia di balik selimut.
Daru terlonjak kaget, bagaimana Elysia bisa mengenal Damian? Padahal Daru sendiri tidak pernah menceritakan tentang Damian sedikit pun. Bahkan nama Damian saja belum pernah ia ucapkan di depan Elysia.
Daru menarik selimut yang menutupi Elysia secara paksa, melihat gadis itu sedang menangis tersedu "Sejak kapan kamu kenal Damian?"
"Apa yang udah Damian lakuin sama kamu?"
"Kamu ketemu dia dimana? Apa dia diam-diam masuk ke kamar kamu?"
Bukan hanya Damian yang membenci Daru, Daru pun sama membencinya. Keduanya saling membenci, sulit untuk Elysia dapat pahami.
Elysia mengusap air matanya "Aku ketemu dia di taman."
Daru mengepalkan tangannya, matanya merah, tatapannya tidak lagi menenangkan.
Sementara Elysia menatap Daru untuk meminta penjelasan yang tidak ia dapatkan dari Damian "Tolong kasih tau aku, ada hubungan apa kamu sama Damian sampe bikin kalian saling membenci?"
Elysia memegang tangan Daru. Namun Daru menghempaskan tangan Elysia begitu saja.
"Maaf El, aku ga bisa biarin ini."
Elysia terus menggeleng, air matanya semakin tidak dapat dia tahan. Hatinya berkali-kali di remukan oleh orang-orang yang ia sayang.
"Tolong Dar jangan, tolong....." Ucap Elysia memohon.
Daru membalik, tidak memperdulikan isakan tangis gadis itu. Daru melangkahkan kakinya menuruni satu persatu anak tangga, tangannya terus di tarik oleh gadis di belakangnya.
"Dar..... tolong jangan lakuin ini Dar.... aku mohon..." Ucap gadis itu lirih.
Daru sangat marah, ia menghiraukan tangisan dari seorang gadis yang terus memohon.
Beberapa kali Elysia menarik tangannya tapi tetap saja, Daru tidak mau berhenti. Daru terlalu di penuhi oleh kebenciannya, hingga rintihan seorang gadis sudah tidak ia pedulikan lagi.
Langkah kakinya semakin dekat dengan ruangan kerja Fannan, ketakutan yang terus menghantui Elysia harus ia hadapi sekarang.
Saat satu langkah lagi Daru sampai, tubuh Elysia bergetar hebat.
Ketakutannya semakin nyata, hadir di depan mata.
Daru membuka sebuah pintu besar, melihat seorang lelaki paruh baya sedang duduk dengan kanvas di hadapannya. Lelaki itu sangat terkejut saat melihat Elysia yang sedang menangis berada di belakang punggung Daru.
Suara tangisnya seperti petir yang menggelegar, Elysia tidak pernah menunjukan air matanya di depan orang-orang sebelumnya. Tapi hari ini? Cinta membuatnya harus menunjukan air mata itu.
"Ada apa ini Daru?" Tanya Fannan panik.
"Maaf om, saya harus kasih tau kalo......" Daru menatap gadis di depan pintu. Gadis yang terus menggeleng, memohon agar Ayahnya tidak perlu tau tentang Elysia yang kabur dari rumah "Elysia diam-diam keluar dari rumah om."
"Daru......" Elysia menatapnya tidak percaya.
Elysia kira sahabat akan selalu membantu saat ia dalam keadaan sesulit apapun, tapi Daru telah membuktikan bahwa sahabat adalah orang yang pertama kali menjerumuskan saat kita melakukan satu kesalahan.
Sahabat satu-satunya orang yang mengetahui titik terlemah, hingga dengan mudahnya dapat mendorong sahabatnya ke lembah kesuraman.
Fannan terdiam. Empat belas tahun Fannan menyembunyikannya, empat belas tahun wajahnya tidak diketahui dunia, dan empat belas tahun itu telah menjadi waktu yang sia-sia sekarang.
Putrinya telah berani melakukan hal terlarang. Hal yang paling Fannan hindari, Elysia yang berani melarikan diri.
"Ayah, El hanya......"
Plak!
Fannan menampar Elysia, kebodohan serta keteledorannya menjaga putrinya ia curahkan dengan menyakiti Elysia.
Sakit yang Elysia terima karena tamparan Ayahnya, tidak sebanding dengan sakit yang ada di dalam hatinya.
Bertubi-tubi hatinya telah di tusuk sebuah bambu runcing paling tajam, di iris pisau belati, dan di hantam balok kayu ukuran besar.
Semua orang menganggap Elysia salah atas dasar kesalahan Elysia yang tidak Elysia sadari. Kesalahan yang tidak mutlak adalah kesalahan mereka sendiri.
Tangan Elysia mengusap pipinya yang terasa panas, keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya, hatinya begitu teriris, dan tubuhnya gemetar hebat.