PECI HAJI... (sujud sunyi sang birokrat)

Riyanto El Harist
Chapter #1

#1 Doa di Raudhoh

Imam masjid baru selesai mengumandangkan salam terakhir dari sholat subuh pagi ini. Suaranya begitu khas dan akrab di telinga para jamaah. Terlebih aku, yang sudah menginjak hari ke lima di Tanah Suci Madinnah al Munawarah ini. Demi melengkapi hitungan arbain, dan mengejar pahala 40 tahun, aku selalu berusaha hadir tepat waktu di setiap waktu sholat. Seperti subuh kali ini. Aku membiasakan diri untuk bisa sampai di shaf depan, agar lebih khusu dalam sholat. Dan juga aku selalu ingin berdzikir dan berdoa di bagian utama mesjid Nabawi ini, yakni Raudhah. Banyak yang bilang kalau Raudhah adalah sekeping taman syurga, disana jaminan ijabah segala doa.

Sebagai PNS, karirku termasuk yang bagus dan gemilang. Di usiaku yang menginjak kepala empat ini, berbagai jabatan aku sandang. Dari eselon IV hingga eselon II sudah aku pegang. Namun sebagai pejabat karir pada umumnya, bukanlah dosa bila berharap dapat mencapai puncak karier yakni eselon I. Untuk pejabat karir di daerah, eselon I atau eselon puncak adalah jabatan karir tertinggi yang sering disebut Sekretaris Daerah. Meski aku tak merasa ge-er dengan sekian banyak pujian dan dorongan orang disekelilingku, aku merasa bila memang pada akhirnya aku menjabat sebagai Sekda sah-sah saja. Dengan masa kerjaku yang sekian puluh tahun, serta pengalaman kerja yang tak sedikit membuatku merasa, jika menjadi sekda pada akhirnya merupakan tangga karier yang harus aku raih.

Berkenaan dengan hal itulah, aku selalu berjuang dan berusaha untuk bisa sholat dan berdoa di Taman Raudhah. Memanjatkan doa terbaik untuk karier dan masa depanku. Aku yakin, Allah mendengar doaku, setidaknya ini hajiku yang kedua, dan aku menjaga betul rukun serta syarat hajiku. Meski doa di Taman Raudhah ini bukan tujuan paling utama, namun jika waktu memungkinkan, bukan salah khan.

Pukul 6.30 waktu Arab Saudi. Aku baru saja keluar dari bagian dalam Mesjid Nabawi, setelah puas berdzikir dan berdoa di dalamnya. Jauh di dalam hatiku, begitu teduh dan tenang dengan apapun yang aku rasakan saat ini. Bukan karena aku baru saja memanjatkan doa-doaku, akan tetapi apa yang aku rasakan telah aku adukan semua kepada Dzat pemilik segalanya dalam hidup ini. Ini hari ke lima dari delapan hari yang dijadwalkan panitia haji untuk kloterku. Masih ada tiga hari lagi aku berada di tanah Madinah ini, dan tentunya masih banyak kesempatan untuku berziarah dan berdoa di Raudhoh. Meski aku belum kesampaian untuk bisa masuk Taman Raudhoh di haji-ku yang ke dua ini, aku tak akan putus asa. Aku akan terus berjuang untuk bisa sujud dan berdoa lagi di Sekeping Taman Syurga itu. Pada hajiku yang pertama, usiaku tergolong masih sangat muda dan gesit untuk melakukan apapun. Termasuk menyeruduk masuk pada rombongan jamaah yang berebut masuk ke Taman Raudhoh. Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. Banyak yang telah berubah di tubuhku setelah sepuluh tahun itu. Badanku yang makin tambur, serta kondisi fisiku yang mudah lelah kini sedikit menghalangiku untuk berbuat nekat seperti dulu. Aku harus berfikir logis untuk melakukan kenekatan seperti pada hajiku yang pertama. Betapa tidak, langkah dan gerakanku tak gesit lagi kini. Aku tak mungkin mampu bersaing dengan jamaah haji lain yang masih muda, tinggi dan tegap. Aku bisa mati terinjak-injak mereka jika memaksakan diri untuk berebut masuk ke Taman Raudhoh. Tapi aku ingin sekali merasakan teduh dan damainya areal karpet hijau itu, aku ingin kembali ke Raudhoh dan bersimpuh di mihrab Sang Nabi.

“Bukankah Bapak yakin, bahwa kesempatan apapun sejatinya adalah izin dari Allah. Jika Allah menghendaki, apapun akan menjadi mungkin. Seperti apa yang Bapak fikirkan sekarang ini. Meski kondisi tubuh Bapak tak semuda dulu, atau tak sekuat dulu, insya Allah, akan ada pertolongan Allah untuk menggapai hajat Bapak untuk bisa sampai ke Raudhoh....” begitu wejangan pembimbing haji yang menyemangatiku kemarin.

Tapi nyaliku kembali ciut. Ketika waktu hampir menunjukan pukul 7.00 pagi, kondisi jamaah yang akan berziarah dan masuk ke Taman Raudhoh makin membludak. Semua RAS manusia hadir di pintu Babul Umar yang merupakan pintu masuk ke arah Taman Raudhoh. Beberapa saat lagi, pembatas pintu itu akan di putus, dan ribuan orang akan berlari menyerbu pintu setinggi empat meter lebih itu. Meski dengan ukuran tinggi dan lebar, akan tetapi dibandingkan jumlah ribuan jamaah yang berebut untuk masuk ke dalamnya, kemungkinanku untuk bisa masuk sangat kecil. Gerakanku yang kini sudah makin lamban, serta postur tubuhku yang jauh dibandingkan jamaah lain, membuatku benar-benar berfikir ulang.

“Yaa Allah, sebanyak ini jamaah yang akan berziarah ke makam nabi-Mu dan taman syurga-Mu,” bathinku lirih, “mungkinkah untuku yang hanya dua per tiga ukuran mereka.”

Hajj, Hajj... torikh-torikh!” terdengar para Asykar yang mengatur para jamaah yang berdiri makin merangsek ke tali pembatas pintu masuk Taman Raudhoh. Pukul tujuh pagi memang sebentar lagi, dan itu di tandai dengan payung-payung raksasa di seputar halaman mesjid Nabawi yang mulai bergerak untuk mekar. Seingatku ini saat permulaan bagi para Asykar itu untuk memutuskan tali pembatas dan membuka pintu Umar Bin Khatab. Aku harus bersiap! Aku harus berani kali ini!

Tepat kita pukul tujuh, beberapa Asykar nampak memutus tali pembatas dan membiarkan para jamaah berlari menuju pintu Umar yang menjadi akses ke Taman Raudhah. Ribuan jamaah yang telah berdiri sejak pukul 6.00 pagi itupun berebutan untuk bisa sampai ke Taman Raudhah. Besar kecil, hitam putih, semua memperjuangkan hajatnya untuk bisa masuk dalam rombongan yang akan mengantri berziarah di dalamnya. Jadi meskipun kita bisa masuk dalam bagian mesjid melalui pintu Umar Bin Khatab, kita masih harus melewati lorong pembatas dari tali. Ini digunakan agar rombongan tetap dalam barisan dan menunggu gilirannya untuk sholat dan berdoa di Raudhah.

“Bismillahi Allahuakbarr...,” teriak bathinku di antara jejalan manusia yang berjuang untuk bisa masuk ke dalam barisan. Beberapa langkah aku paksakan untuk bisa masuk dalam himpitan lelaki bertubuh tinggi besar. Posisiku tak melebihi ketiaknya, namun aku terus bergerak. Aku tak boleh berhenti, aku bisa jatuh dab terinjak jamaah yang ada di belakangku. Namun entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja jamaah bagian depanku berhenti bergerak sementara bagian belakangku terus merangsek untuk maju. Jadilah aku yang terdiam sesaat ini tergencet dua rombongan jamaah kulit hitam yang tinggi besar ini.

Lihat selengkapnya