PECI HAJI... (sujud sunyi sang birokrat)

Riyanto El Harist
Chapter #3

Surat Cinta Tepian Al Khadra #3

Tubuhku menggigil pagi ini. Ini untuk yang kesekian kalinya aku merasakan kalau udara Madinah begitu mengusik kekhusukanku beribadah. Betapa tidak, setiap kali bangun untuk tahajud atau sekedar bangun lebih pagi agar tak tertinggal subuh di Nabawi, badanku selalu saja menggigil. Padahal AC kamar sudah kuminta untuk dimatikan, dan selimut rangkap dua selalu kukenakan. Tapi tetap saja ketika alarm HP-ku berdering, tiba-tiba saja tubuhku menggigil kedinginan. Memang Madinah sedang menyongsong musim dingin sebentar lagi. Udara yang menyelusur di pegunungan cadas Tsur begitu dingin dan kering di kulit.

Aku melirik jam di tanganku, masih jam tiga seperti biasanya. Ini saat aku harus bangun dan membersihkan tubuhku. Air bersih begitu langka di hotel ini, kami harus berhemat dengan memakai secukupnya. Dengan kondisi kelembaban Madinah yang sangat kurang, sebetulnya tidak mandipun badanku tak bau. Namun aku berusaha membersihkan tubuhku meski hanya sekedar menyekanya. Ketersediaan air yang sangat minim ini membuatku harus bertoleransi dengan sesama jamaah. Ada enam orang yang sekamar denganku. Meskipun mereka selalu hormat dan menghargaiku sebagai pejabat daerah, namun tetap saja aku harus menenggang rasa. Aku tak mungkin seenaknya menghabiskan air yang terjatah seadanya itu. Kalau sudah seperti ini, terkadang aku membenarkan ucapan isteriku agar aku ikut haji plus saja. Dimana setiap kebutuhan jamaah haji plus senantiasa diperhatikan dengan baik.

“Bapak khan sudah sepuh, Ibu khawatir kurang bisa mencukupi kebutuhan jika harus bergabung dengan jamaah haji reguler. Pengalaman kita sepuluh tahun lalu, persaingan jamaah haji reguler kadang kurang memberikan perhatian bagi yang sepuh seperti Bapak....,” suara isteriku saat itu. Seharusnya ia ikut berhaji bersamaku tahun ini. Namun dikarenakan ia harus dirawat secara serius karena penyakit darang tingginya, aku harus berangkat sendiri. Aku tak bisa berbuat apa-apa, untuk merubah kenyataan ini. Apalagi bila mengingat tensi darahnya yang terus tak stabil di minggu-minggu terakhir keberangkatanku ke tanah suci. 

“Maunya Bapak juga begitu Bu, tapi Ibu khan tahu. Kondisi kantor memang sedang tak nyaman untuk siapa saja. Dan Bapak tidak mau terkesan sebagai masyarakat kalangan atas dengan mengikuti haji plus,” ucapku saat itu, “biarlah kita berangkat dengan haji reguler saja. Insya Allah aka lebih banyak berkahnya...”

Isteriku tak lagi bersuara saat itu. Keputusanku untuk mendaftar di haji reguler tak lagi ditentangnya. Sebetulnya meskipun dengan haji reguler, untuk pejabat daerah sepertiku, pembedaan perlakuan senantiasa diberikan panitia penyelenggara haji untuku. Terbukti dengan sebentarnya masa menungguku untuk berangkat, sementara jamaah haji yang lain harus menunggu tiga sampai lima tahun. Itu saja bagiku sudah cukup, aku tak mau mendapatkan perlakuan istimewa lainnya lagi. Aku ingin berhaji karena Allah, dengan segala macam ujian dan kesusahannya. Aku ingin hajiku tahun ini betul-betul dilandasi keihklasan, bukan karena banyaknya kemudahan dan fasilitas untuku. Aku ingin seperti jamaah haji biasa. Cukuplah pembedaan dan perlakuan istimewa itu dalam tugasku. Tidak dalam titian ibadahku.

“Tapi Bapak sudah sepuh... Ibu khwatir Bapak akan kerepotan nanti...,” ucap isteriku lagi, “andai saja Ibu bisa mendampingi Bapak ke tanah suci...”

“Sudah-sudah Bu, ikhlaskan saja. Bapak insya Allah mampu menjaga diri. Bapak yakin Allah yang akan menjaga dan mencukupi kebutuhan Bapak selama di tanah suci nanti. Doakan saja...” balasku agar tak menimbulkan kerisauan pada isteriku.

Angin berdesir perlahan dari jeruji ventilasi kamar. Hotel berlantai 17 ini memang memiliki ventilasi udara di tiap kamarnya yang menghadap langsung ke pegunungan batu, sehingga air yang menyusur gunung sangat terasa sekali sampai ruangan kamar. Bila menjelang malam dan pagi, AC memang tak di butuhkan di sini. Kecuali bila siang mulai terik, rasanya bumi bagai terbakar oleh sinar matahari. Sedikitnya pepohonan hijau, serta kondisi tanah yang begitu gersang, membuat Madinah dan kota-kota di jazirah Arab memang sangat panas di siang hari.

Aku masih menyeka tubuhku, ketika suara ketukan kamar mandi terdengar. Nampakanya penghuni lain sudah turut bangun dan mereka mulai dituntut oleh proses metabolisme mereka. Aku segera mempercepat kegiatanku dan mengakhirinya dengan menyikat gigi dan dilanjutkan dengan bersiwak. Sebetulnya salah satu saja sudah cukup, namun untuku yang tak terbiasa bersiwak, gosok gigi adalah untuk permulaan.

“Maaf Pak, perut saya sudah tidak tahan,” seru teman sekamarku ketika aku membuka pintu.

“Oh iya, tidak apa-apa Pak, maaf kalau saya terlalu lama di kamar mandi,” ucapku membalas rasa sungkan mereka. Selepas membersihkan diri, segera kukenakan gamis krem yang dulu dibelikan isteriku. Kami membelinya di salah satu butik muslimah dan perlengkapan haji. Sebulan sebelum isteriku dinyatakan batal berangkat, dia memang ngotot mengajaku ke sana. Katanya harga butik itu tidak terlalu mahal, namun kualitas barangnya sama dengan butik-butik mahal.

Kurapihkan kancing-kancing gamis ini. Masih terlihat baru dan bersinar. Di hari ke enam aku di Madinah, gamis ini memang baru kali ini aku kenakan. Biasanya aku sering menggunakan celana panjang dan baju koko saja, agar lebih simpel. Namun entah mengapa hari ini rasanya aku ingin sekali memakai gamis yang telah dipilihakan isteriku itu. Aah, aku rindu kamu Bu. Semoga engkau segera melewati batas kritismu, dan sehat ketika aku kembali dari tanah suci nanti.

“Mau jalan kaki atau naik angkot, Pak?” Pak Rusdi bertanya padaku. Dai di salah satu pondok pesantren Angin Timur ini memang tergolong dekat denganku. Bukan saja karena kami satu rombongan dan satu kamar. Akan tetapi dalam kedinasan, kami saling berkoordinasi dan bekerja sama menjalankan peran dan fungsi kami bagi masyarakat Angin Timur.

“Masih pagi sih Pak, kalau jalan kaki juga tidak akan terlalu terburu-buru, “katanya melanjutkan, “tapi yaa kalau nantinya betis Bapak bengkak lagi, sebaiknya kita naik angkot saja. Satu rial hehehehe....”

“Iya Pak Rudi,” jawabku lagi, “sebetulnya saya ingin jalan santai seperti kemarin Pak. Tapi kurang tahu yaa, hari ini rasanya saya ingin cepat-epat sampai di Mesjid Nabawi. Bukan karena takut bengkaknya...”

“Ooh iya sudah, kalau begitu kita naik angkot saja. Di bawah maktab kita sudah banyak tuh orang-orang Arab yang menyediakan mobilnya untuk ngangkut kita ke mesjid,” ucap Pak Rusdi seraya mendongakan wajahnya ke arah luar jendela. Setiap pagi orang-orang Arab itu memang membantu kami untuk bisa cepat sampai di Mesjid Nabawi. Mengingat jarak kami yang lebih dari satu kilo meter, akan membutuhkan waktu yang lumayan lama jika berjalan kaki. Apalagi untuk jamaah seperti kami. Angkot yang kami tumpangi juga sebetulnya banyak yang kendaraan pribadi yang mereka sulap menjadi kendaraan umum untuk mengangkut kami. Pemerintah Arab Saudi memang membolehkan itu di tiap musim haji. Kalau kami lagi beruntung, kami bisa mendapatkan kendaraan angkutan yang bersih dan wangi. Tapi bila lagi kurang beruntung, terkadang kendaraan angkutan kami masih bau kambing atau domba.

Di perjalanan beberapa rekan sekamarku nampak berbincang santai dengan isteri-isteri mereka. Ada yang membahas Raudhah, ada yang membahas Jabal Tsur, ada yang membahas perjalanan Nabi, ada pula yang sesekali membahas sanak keluarga mereka di tanah air. Melihat itu, aku hanya bisa menimpali senyum sebagai ungkapan kalau aku turut gembira. Andai saja isteriku tak harus menjalani perawatan medis, pastilah aku juga bisa berbincang santai seperti mereka.

“Ohya, bagaimana kondisi isteri Bapak?” tiba-tiba suara Pak Rusdi terdengar olehku. “Apakah sudah ada kabar tentang perkembangan medisnya Pak?”

“Selang oksigenya sih sudah dilepas, Pak. Tapi yaa itu, kondisi isteri saya masih sangat lemah sehingga masih perlu perawatan lebih intensif...” ucapku agak pelan. Aku tak ingin mereka terbawa suasana kesedihan hatiku.

“Masya Allah, mudah-mudahan Ibu Sekda segera pulih yaa Pak,” sambung Bu Rusdi menanggapi ucapanku. Dari beberapa isteri jamaah yang satu rombongan denganku, Bu Rusdi inilah yang kerap membantuku dalam mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Dari mengingatkan tasbih, al-qur’an, hingga jam makan siang dan malam yang kadang terlupa olehku. Awalnya aku agak sedikit rikuh dengan kebaikan seperti itu, namun dengan kalimat tulus yang keluar dari pasangan dai dan ustadzah itu, aku jadi tenang. “Kita sedang menjadi tamu Allah Pak, usahakan ucapan kita, tingkah laku kita dan juga hati kita diutamakan karena Allah...” begitu kalimat teduh mereka untuku.

Lihat selengkapnya