PECI HAJI... (sujud sunyi sang birokrat)

Riyanto El Harist
Chapter #4

#4 Sebuah Wujud Bhkati

“Maaf Pak, ada telefon dari Pak Bupati,” suara ajudanku terdengar hati-hati seraya menyodorkan handphone kecil dengan type sliding itu. Dengan segera kuraih benda kotak berwarna hitam keperakan itu dan menempelkannya ke telingaku. Sebuah suara berat terdengar dari ujung sana ketika kuucapkan salam.

“Betul Pak, saya sendiri,” ucapku sigap, “ya, ya saya sudah baca yang itu Pak. Betul Pak. Tapi sekiranya Bapak berkenan, izinkan saya mempelajarinya dulu....” Suaraku begitu datar untuk menjawab semua pertanyaan yang disampaikan Bupati dari tempat kediamanya. “Segera Pak, nanti saya akan menghadap Bapak bila semuanya telah saya pelajari. Tidak lama, Pak. Siap Pak, insya Allah besok saya akan menghadap ke ruangan Bapak. Iya Pak, baik Pak....”

Semua peserta rapat yang saat itu hadir atas undanganku nampak menahan nafas. Mereka tak ingin memberikan kesan mengangganggu percakapan maha penting, antara aku dan junjungan mereka semua, Bupati. Mungkin wujud etika dan penghormatan mereka kepada kami. Setidaknya wajah mereka juga mendadak terlihat serius dan tertuju lurus ke arahku.

“Maaf, ada sedikit arahan dari Pak Bupati,” ucapku setelah menutup handphoneku, “sampai dimana tadi?” Sejenak ku tersenyum untuk mengalihkan keseriusan yang ada di wajah para staf pendukungku.

“Baik, kita lanjutkan. Silahkan Pak Kepala Dinas Pendapatan untuk menyampaikan rencana kerja tahun ini!”

“Baik Pak saya lanjutkan....” acara briefing staf yang melibatkan seluruh pimpinan SKPD yang ada di Kabupaten Langit Utara itupun kembali berlanjut. Tiap-tiap pimpinan SKPD memberikan ekspose rencana kerja dan program unggulan yang mereka terapkan di tahun anggaran berjalan. Sebagian besar dari mereka menerangkan begitu rinci dan detil bentuk-bentuk kegiatan dan program sesuai tugas pokok dan fungsinya. Inilah bentuk penyampaian rencana kerja yang berbasiskan kinerja SKPD masing-masing. Dari semua yang disampaikan, dapat kupahami kalau semua SKPD berjuang untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat Kabupaten Angin Timur serta berupaya meningkatkan PAD sebagai tolak ukur kinerja mereka.

"Terima kasih atas semua paparan yang telah Bapak-Bapak sampaikan. Ini membuat saya memahami bahwa tugas menjadi seorang Sekda sangatlah berat. Oleh karenanya, saya mohon bantuan Bapak-Bapak semuanya setulus hati. Tanpa bantuan Bapak-Bapak semua selaku kepala SKPD saya yakin takan dapat berbuat apa-apa...” ucapku jujur.

“Kami juga senang Pak, Bapak bisa memimpin kami, semoga Kabupaten Angin Timur mampu sejajar dengan kabupaten/kota di Indonesia ini,” seorang lelaki bertubuh ceking yang berdiri di ujung meja rapat ini bersuara. Dia H. Samadji, penampilannya bersahaja dan termasuk pegawai senior di antara semua yang hadir. Seingatku ia juga kandidat pada pemilihan calon Sekda kemarin, namun mengundurkan diri demi mendukung pencalonanku.

“Terima kasih, ini sangat berarti buat saya Pak Haji...” ucapku.

“Kami semua juga mendukung Bapak memimpin kami secara administrasi, semoga ke depan kita semua bisa berkarya dan berkiprah secara benar, di mata hukum dan di mata Tuhan,” seorang lelaki berperawakan sedang menyampaikan pula pendapatnya. Dia Kepala Bappeda, di tangannyalah perancangan segala bentuk program dan kegiatan pembangunan daerah.

“Terma kasih Pak Dewo, semoga kita bisa merancang kegiatan lebih fokus bagi kemajuan pembangunan kabupaten ini yaa...”

Acara berlangsung hingga makan siang. Diantara para kepala SKPD itu masih juga yang menyambung tanggapan dan pendapat mereka tentang aku dan pelantikanku sebagai Sekda. Dari semua kepala SKPD yang begitu gigih dan terlihat ingin mengenalkan dirinya, ada beberapa  yang lebih menunjukan loyalitas lainnya sebagai bawahan kepadaku. Mereka tidak berbicara program atau kegiatan yang tengah mereka usung, akan tetapi lebih banyak menawarkan tempat-tempat eksklusif untuk beristirahat, arena refreshing dan tak kalah penting, menawarkan hal-hal yang bersifat upeti bhakti.

Inilah yang tak aku pahami, arti upeti bhakti. Akankah ia sama dengan setoran pada pimpinan daerah ini agar mereka tetap dipercaya, atau inikah cara mereka menunjukan loyalitas mereka selama ini. Sebagai pejabat eselon IIa, hal ini masih terdengar asing di telingaku. Bukannya aku tidak tahu hal-hal seperti ini, akan tetapi gaya mereka menyampaikan hal tersebut seperti hal yang biasa. Tanpa tedeng aling-aling atau merasa malu. Inikah pergaulan para pejabat yang dekat dengan kekuasaan selama ini ?

“Pak Bupati itu sukanya mancing lho, Pak. Jadi gampang saja kalau kita ingin dekat dengan beliau tinggal kita ikuti saja kegemarannya,” Pak Murshalin yang menjabat Kepala Bagian Umum menunjukan ‘plus point’-nya sebagai seorang bawahan.

“Apalagi kalau mancingnya di Kepulauan Seribu Pak, waah bisa-bisa apa saja yang kita ajukan oleh beliau akan di-acc saat itu juga!” giliran Pak Narto yang menjabat Kepala Badan Kepegawaian Daerah berucap.

Aku tersenyum simpul pada kedua orang yang begitu semangat bercerita tentang metode pendekatan kepada Bupati ini. Seperti yang sering aku dengar, kedua orang ini memang termasuk pejabat yang dekat sekali dengan Bupati. Anggaran dan kebijakan juga yang kutahu sangat berpihak kepada keduanya. Tak heran kalau di setiap event kegiatan Bupati, keduanya kerap hadir, bahkan menjadi fasilitator utama. Baik yang bersifat kedinasan, pribadi ataupun kendaraan politik. Ini sebetulnya yang mengkhawatirkanku sebagai pengelola administrasi secara keseluruhan di pemerintah Kabupaten Angin Timur ini. Aku takut keloyalan mereka berbuah pemeriksaan secara hukum. Betapa tidak, anggaran yang semestinya dianggarkan untuk membiayai program dan kegiatan yang berbasis kinerja, terkadang harus di’alokasikan secara khusus’ untuk menunjukan loyalitas seperti itu.

“Hati-hati lho Pak, sebagai seorang Sekda, Bapak berkewajiban untuk menegur para pejabat yang demikian,” pesan isteriku di sekali waktu. Dia memang sangat intens memberiku suport dan masukan atas jabatanku yang baru ini. Bhaktinya sebagai seorang isteri memang tak kuaragukan lagi.

 

Selepas acara briefeng staff dengan seluruh kepala SKPD, aku melanjutkan dengan memeriksa tumpukan surat yang telah ditinggalkan Sekda terdahulu. Banyak  program dan kegiatan yang tertangguh karena proses pemilihan Sekda beberapa bulan yang lalu. Salah satu yang membuat urat keningku sedikit tertarik adalah program pengadaan lahan bagi Dinas Pendidikan dan permohonan anggaran tambahan bagi Dinas Pekerjaan Umum. Dua item pekerjaan ini memang bukanlah perkara yang mudah, seingatku banyak para pejabat yang tersandung kasus karena tak menangani hal ini secara cermat. Pengadaan lahan yang sejatinya hanyalah pekerjaan membeli tanah dari masyarakat untuk kepentingan dinas, bisa berubah menjadi jalan yang mulus untuk pejabat mana saja yang terlibat masuk ‘hotel prodeo’.

Begitu juga pemberian tambahan anggaran bagi SKPD pada prinsipnya hanya memberikan tambahan plafon anggaran bagi pelaksanaan program kerja mereka. Namun dalam pelaksanaanya ini juga tidak se-simple yang dibayangkan, karena menambah anggaran sebuah SKPD sama saja menghitung ulang seluruh total anggaran yang ada dan merefleksikannya terhadap neraca pendapatan asli daerah. Salah dalam menentukan kebijakan ini akan membuat kondisi keuangan daerah di posisi pailit. Belum lagi bila dihadapkan pada perhitungan akuntabilitas dan kinerja pemerintah daerah yang bisa disclaimer dan menghilangnya kepercayaan pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang telah diserahkan.

“Fuuh... ini pekerjaan yang tak mudah! Benar-benar tak mudah, aku harus berbicara serius dengan dua SKPD ini,” bathinku seraya memencet nomor telepon kedua orang kepala SKPD ini.

“Tolong bisa ke ruangan saya sekarang Pak!”

Tidak dalam tempo lama, kedua orang yang kupanggil via telepon itu datang dan menghadap ke ruanganku. Wajah mereka terlihat tegang dengan panggilan yang mendadak dan langsung dari lisanku. Ini memang agak tak biasa bagi birokrasi, karena seorang Sekda terbiasa menunaikan hajatnya melalui sang ajudan, tapi ini langsung.

Lihat selengkapnya