Aku mengelus-alus dadaku, menahan gatal ditenggorokanku yang kian menyiksaku. Ini hari terakhir aku berada di Madinnah. Nanti sore rombongan kloterku akan bertolak ke Mekkah untuk menunaikan umroh pertama. Aku harus sembuh dari batuk yang kurasa makin parah saja kurasakan. Hasil pemeriksaan dokter kemarin aku tak menderita peradangan atau inspeksi saluran pernafasan, mungkin hanya kelelahan saja. Tapi entah hasil analisa itu seolah tak membuatku tenang. Aku selalu merasa kalau tenggorokanku bengkak atau ada luka yang membuatku gatal dan ingin selalu batuk. Memang tak ada lendir atau dahak yang mampu kukeluarkan, namun selalu saja aku merasa kalau ada cairan yang berlendir dan bersarang di sana.
Seperti pagi yang tiba-tiba makin dingin ini, seolah makin membuat tenggorokanku gatal. Sudah lebih dari setengah jam aku batuk-batuk dan berdiam di kamar maktab ini. Pak Rusdi yang begitu setia menemaniku nampak sibuk mengoleskan balsam di punggung tuaku. Sesekali istighfarnya juga terdengar lirih di telingaku. Lelaki yang begitu baik ini juga menyuruh isterinya agar membuatkan teh celup hangat untuku. Mereka berdua bagai merawat orang tua mereka sendiri, begitu perhatian dan setia kepadaku yang memang sudah renta secara fisik ini.
Mendapati kondisiku yang makin memburuk seperti ini membuatku terus berfikir tentang dosa apa lagi yang belum kumohonkan ampun dan maaf-Nya. Yaa Allah, apakah ada lisanku yang begiu melukai-Mu, hingga kau titipkan penyakit batuk dan gatal sedemikian rupa? Bathinku lirih di tengah batuku yang makin menghebat. Tubuhku bergetar hebat, dengan muka dan mata yang memerah. Entah mengapa semakin aku batuk, semakin terasa siksaan yang berat di tenggorokanku.
“Istighfarlah Pak Haji...,” bisik Pak Rusdi mengingatkanku.
“Astaghfirullahalladziimm....,” ucapku lirih ketika dadaku berguncang menahan batukku. “Yaa Allah, ini tubuh-Mu, ini penyakit-Mu pula. Jika benar Engkau berikan ini karena dosa dan salahku di masa lalu, ampunilah dosa itu yaa Rabb. Ampunilah dosaku dan sembuhkanlah aku. Sembuhkanlah tubuh yang Engkau titipkan ini, yaa Allah. Sembuhkanlah, agar aku mampu melanjutkan perjalanan suciku menjadi tamu di Baitullah-Mu. Izinkanlah kembali kudekap dan kupeluk batu mulia-Mu... Izinkanlah dengan kasih sayang-Mu yaa Rabb. Izinkanlah....”
Angin sejuk menerobos masuk dari jeruji jendela. Tidak begitu dingin dan juga tidak panas. Sejuknya yang begitu pas, bagai menenangkan gatal yang begitu mengusik tenggorokanku pagi ini. Terlintas di benakku, beberapa tahun silam, kalau lisan ini pernah sekali berucap tak benar untuk melindungi salah satu anak buahku dari jerat hukum. Sebagai kepala administrasi pemerintahan daerah, posisiku memang terkadang serba sulit. Membiarkan apa adanya, banyak kecurangan dan berbahaya bagi anak buahku. Namun bila aku harus ikut campur dan membenahi jalannya administrasi pemerintahan, aku harus bisa menunjukan sisi arifku sebagai seorang pimpinan. Seperti yang terjadi pada kasus Pak Sugiono, Kepala Dinas Sosial yang harus bersinggungan dengan hukum. Kasusnya diawali adanya laporan dari LSM yang menulis di koran kalau penyaluran bantuan ternak dan peralatan tani bagi warga miskin yang tidak tepat sasaran dan kurang berkualitas. Penanganan isue dan berita koran yang kurang sigap membuat Pak Sugiono yang setahuku baik dan jujur harus menanggung resiko diperiksa polisi berdasarkan laporan LSM tersebut.
Permasalahanya sendiri terletak pada jumlah yang didistribusikan serta kualitas hewan ternak yang diluar bestek. Dan kesemuanya itu ulah anak buahnya yang bekerja sama dengan pihak usahawan. Mereka bermain anggaran agar mendapatkan keuntungan yang besar. Seingatku, Pak Sugiono sendiri tak mengetahui hal ini. Hal tersebut diketahui dari hasil pemeriksaan intern inspektorat tentang mekanisme penyaluran bantuan. Namun berkaitan dengan penanggung jawab serta penandatanganan pakta integritas yang atas nama kepala dinas, membuat Pak Sugiono tak bisa mengelak dalam hal ini. Dia dianggap tahu dan membiarkan penyimpangan ini terjadi.
Untuk menyelamatkan Pak Sugiono, terpaksa aku harus bersaksi yang meringankanya, bahwa juknis dari bantuan tersebut memang tak mewajibkan seperti yang tertera di tuntutan atau laporan LSM. Juknis hanya mengatur jumlah dan waktu, bukan kualitas hewan ternak. Dan juknis itu merupakan aturan rekayasa yang diubah seperlunya demi kepentingan pemeriksaan. Sebagai Sekretaris Daerah, aku menandatangi hal tersebut sebagai bentuk dukungan bagi Pak Sugiono. Namun satu hal yang harus aku tindak lanjuti setelah itu, memutasikan pejabat pelaksana teknis kegiatan sebagai ganjaran. Meski pada akhirnya permasalahan ini mereda, namun kebohongan yang kulakukan tetap sebuah keniscayaan yang aku sesalkan hingga kini. Lisanku berperan penting terhadap proses penyelamatan salah satu anak buahku dari jerat hukum.
“Tolong suami saya, Pak. Pada siapa lagi saya harus minta tolong? Kasihan anak-anak saya yang masih membutuhkan sekian banyak biaya...,” itu kalimat isteri Pak Sugiono yang membuatku memutuskan membantu menyelamatkannya dari jerat hukum. Setidaknya pokok permasalahan ini memang bukan pada pak Sugiono akan tetapi staffnya.
“Yaa Allah, kalau tindakanku di masa lalu itu menjadi teguran gatal di tenggorokanku ini, ampunilah Yaa Rabb.... ampunilah kebodohan dan kekhilafanku...” ucapku liri menuntaskan bayanganku di masa lalu.
“Pak Sekda sudah siap-siap?” tanya Pak Rusdi yang muncul dari balik pintu kamarku.
“Siap-siap apa?” tanyaku tak mengerti.
“Nanti sore kita akan bertolak ke Mekkah, jadi siang ini kopor harus sudah terkumpul di depan Maktab,” Pak Rusdi menjelaskan jadwal keberangkatan kami guna umroh pertama kami. “Apa Bapak perlu sesuatu?”
“Mmm... ngga usah Pak, saya bisa sendiri,” kataku tak mau lagi merepotkan lelaki baik itu. Dengan segera akupun membenahi semua perlengkapan pribadiku untuk dimasukan ke dalam kopor besarku.
“Jangan lupa tali jemuran dan perlengkapan mandinya Pak, sayang kalau harus ditinggalkan. Kita akan banyak membutuhkan barang-barang itu di Mekkah nanti,” ucap Pak Rusdi lagi. Sebetulnya untuk barang-barang seperti itu, aku mampu membelinya lagi di sana, namun ketelitian ini merupakan ajang latihan terselubung bagi kami. Setidaknya di Mina, di Arafah, dan di Muzdalifah nanti ketelitian menjadi hal yang mutlak dalam melanjutkan titian haji. Dari jumlah batu jumroh, pakaian ganti, obat-obatan dan juga buku doa yang harus terus kubawa dalam tas kecil. Kesemuanya itu membutuhkan ketelitian. Setidakya untuku yang memang berhaji sendiri tanpa ditemani isteriku, membuatku harus lebih siap terhadap semuanya itu.
Selesai berkemas, aku bersiap untuk kembali ke Mesjid Nabawi untuk menggenapkan arbain-ku di waktu dzuhur. Ashar nanti kami sudah berangkat ke Mekkah, sehingga melaksanakan sholat di maktab. Dari empat puluh waktu yang direncanakan, alhamdulillah, aku dapat menunaikan tanpa halangan. Meski persendian tulangku mulai merasakan kelelahan dan keletihan. Habatussauda yang kubekal dari Indonesia tak begitu banyak membantu staminaku. Hanya sedikit meredam ambruknya kesehatanku.