PECI HAJI... (sujud sunyi sang birokrat)

Riyanto El Harist
Chapter #7

#7 Di Bawah Naungan Cinta

Bir Ali,

Langit mulai meremang...

“Sebentar lagi merapat di tempat miqot, Pak Haji...,” sebuah suara membuyarkan lamunanku yang masih saja terkait pada masa lalu. Sejenak aku mengucek kantung mataku yang kini makin besar dan menggembung karena usia.

“Sampai mana?” tanyaku lagi.

“Sebentar lagi kita berhenti di Bir Ali, untuk sholat sunah safar dan niat umroh...”

“Ooh, terima kasih yaa...,” ucapku seraya merapihkan ihram yang kukenakan. Aku masih memakai pakaian dalam untuk mengusir hawa dingin. Dan sesuai dengan syarat berihram, semua pakaian yang berjahit harus kami lepas sebelum kita berniat ihram. Oleh karena itu salah seorang jamaah yang duduk di sampingku membangunkan untuk mengingatkanku.

“Yaa... Allah, sebentar lagi aku menunaikan kembali perintah umroh-Mu. Beri hamba kemudahan yaa Rabb...”

Kendaraan bus yang kami tumpangi merapat di Bir Ali, ini lokasi bagi kami semua untuk melakukan miqot dan niat umroh. Di Mesjid ini kami melakukan sholat sunah dua rakaat dan melafazkan niat bagi umroh kami serta menanggalkan semua pakaian yang berjahit. Di mesjid inilah kami memulai perjalanan hati kami dengan hanya dua lembar kain putih yang melekat di tubuh kami yang laki-laki. Ini bisa melambangkan ditanggalkannya semua atribut dunia, bisa juga sebagai wujud latihan kami dalam menyambut mati. Karena di tutup usia nanti, memang hanya dua lembar kain putih inilah yang akan kami bawa ketika menghadap Sang Maha Hidup. Dan yang paling hakiki, sebagai tamu-Nya, memang hanya keimanan yang wajib dibekalkan secara paripurna. Segala atribut keduniawian hanyalah instrument sepele yang tidak perlu dibanggakan.

”Nawaitu al-’umrata wa ahramtu biha lillahi ta’ala...[1].” kulafazdkan niat umrohku dengan lirih ketika sholat sunah dua rakaat usai kutunaikan. Dengan penuh khusyuk kulangkahkan kakiku menuju kendaraan bus kembali. Setelah ini kami akan menuju Mekkah dan menunaikan rukun umroh, yakni towaf, sai dan bercukur.

Langit jazirah Arab yang hitam pekat mendadak teduh dan damai dalam perjalanan kami, setidaknya itu yang aku rasakan setelah menunaikan sholat sunah safar dua rakaat dan berniat umroh. Sepanjang jalan, bus kami juga di penuhi talbiah yang meluncur dari lisan-lisan pasrah kami. Entah apapun yang akan terjadi setelah ini, kami pasrah. Setidaknya untuk umroh kita memang dihadapkan pada amalam towaf yang tak mudah. Khususnya untuk lelaki berumur sepertiku, tujuh putaran baitullah bisa saja melambung menjadi lima kali jaraknya. Karena aku tak mungkin mampu menembus lingkaran tubuh-tubuh yang lebih kuat dan besar di putaran towaf yang tak pernah sepi itu.

“Tapi aku rindu dengan baitulah-Mu yaa Rabb,” bathinku lirih, “masih mungkinkah tubuh tua ini mendekap dan mencium batu mulia-Mu. Mungkinkah tubuh dan tangan kotor ini mampu meraih makom Ibrahim-Mu, hijir Ismail-Mu, sudut multazam-Mu, juga batu suci-Mu hajar aswad. Mungkinkah yaa Rabb...”

Laju bus yang membawa kami makin melesat menembus jalanan aspal di tengah padang pasir. Meski pandangan kanan-kiri kami sangat gelap, namun samar-samar kami masih dapat melihat gunung bebatuan yang berkejaran ke arah belakang kami. Kecepatannya yang luar biasa menunjukan begitu melesatnya bus yang kami tumpangi. Entah apa alasan supir yang membawa kami dengan kecepatan seperti itu, apakah ingin cepat sampai atau juga menghindari kemungkinan begal dan rampok yang katanya masih ada. Yang jelas hampir semua bus yang membawa rombongan jamaah haji memang berlalu dengan kecepatan tinggi jika menjelang malam.

Langit di atas menyisahkan bintang-bintang dari rembulan yang mulai menghilang. Sesuai jadwal, umroh kami adalah kloter terakhir dari semua rombongan, sehingga sudah mulai mendekati bulan Dzulhijah. Kondisi demikian menjadikan bulan makin irit membiaskan cahayanya, seolah mewakilkan tugasnya pada gemintang yang kini berkerlip di ujung pandanganku.

“Bapak harus jaga diri ya, ingat umur... jangan merasa muda terus,” suara lirih itu seolah begitu lekat di telingaku. “Ikuti semua instruksi ketua rombongan, meski mungkin mereka semua bawahan Bapak secara struktural.”

“Iya Bu, bapak juga ngerti....,” ucapku seraya menatap lurus perempuan berbalut shall batik di depanku, “meski Bapak masih selalu rindu menggapai raudhah, dan hajar aswad...”

“Iya, tapi di usia menjelang enam puluh tahun, kondisi fisik bapak tak sekuat dulu, harus ingat...,” ucap perempuan paruh baya itu lagi, “terlebih kholesterol dan asam urat Bapak sudah sangat tidak bersahabat...”

Aku tak menjawab, kali ini hanya mewakilkan senyum. Senyum terhangat yang coba aku bagikan pada perempuan mulia yang begitu tulus mendampingiku dalam suka dan duka. Di usia senja seperti ini, sosoknya bagai menggantikan almarhumah ibuku. Perhatian dan ketulusannya menjadika langkahku begitu kuat menghadapi apapun.

Lihat selengkapnya