Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan di hutan terlarang. Cahaya bulan redup menyinari reruntuhan kuil tua yang tersembunyi di antara semak-semak liar. Seorang pemuda bernama Raiyan berjalan perlahan, napasnya tersengal setelah berlari sejauh beberapa mil. Tubuhnya dipenuhi luka akibat pertempuran sebelumnya—pertarungan yang hampir merenggut nyawanya.
Di hadapannya, di tengah altar batu yang berlumut, tergeletak sebuah pedang tua dengan bilah hitam berukir simbol-simbol kuno. Udara di sekitarnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak kasatmata mengawasi. Raiyan menelan ludah, tangannya gemetar saat mendekati senjata itu.