Jakarta tidak terbuat dari beton dan kaca. Itu adalah ilusi optik bagi turis dan investor asing. Jika kau mengupas lapisan aspalnya, menyayat kulit gedung pencakar langitnya, kau akan menemukan bahan baku kota ini yang sesungguhnya.
Daging. Darah. Dan Ingin.
Kota ini adalah mesin raksasa yang digerakkan oleh uap kecemasan sepuluh juta manusia yang takut miskin, takut jelek, takut dilupakan, dan takut mati sendirian. Kecemasan itu menguap ke udara, berkumpul menjadi awan hitam di atas Sudirman, lalu turun kembali sebagai hujan asam yang membakar kulit.
Maka, jangan heran jika hujan di Jakarta terasa perih. Itu adalah air mata kolektif yang didaur ulang.
Di sebuah gang sempit di kawasan Glodok—tempat di mana cahaya neon pusat kota mati kutu ditelan bayang-bayang—sebuah ruko tua berdiri miring. Tidak ada plang nama yang mencolok. Hanya ada tulisan tangan di atas kertas kardus yang ditempel miring di kaca jendela berdebu:
PEGADAIAN RASA. Kami terima segala jenis emosi. Kecuali Cinta Monyet (Stok Penuh).
Di dalam ruko itu, Banyu sedang menimang-nimang sebuah botol kaca kecil seukuran jempol orang dewasa.
Cairan di dalamnya berwarna merah muda, berbuih cantik, dan berbau seperti permen karet yang sudah dikunyah terlalu lama. Banyu mengangkatnya ke arah lampu bohlam yang berkedip-kedip, menelitinya seperti seorang ahli berlian meneliti cacat pada permata.
"Cantik," gumam Banyu. Suaranya serak, seperti gesekan kertas pasir. "Tapi kosong."
Di depannya, seorang pemuda berusia dua puluhan duduk terkulai di kursi besi. Pemuda itu baru saja menjalani prosedur. Tengkuknya masih berdarah sedikit, tapi wajahnya tampak... lega. Bebas. Seperti orang yang baru saja sembuh dari sakit gigi menahun.
"Itu... itu apaan, Bang?" tanya pemuda itu, menunjuk botol di tangan Banyu. "Itu yang barusan Abang ambil dari kepala gue?"