Pejabat Negeri Sonoharu

Tourtaleslights
Chapter #1

Panggilan Revolusi

Langit sore yang kelabu menaungi ibu kota Negeri Sonoharu. Jalan-jalan padat dengan kemacetan yang tak berkesudahan, dan wajah-wajah penduduknya muram, mencerminkan keadaan negeri yang sedang terpuruk. Di setiap sudut kota, layar-layar televisi besar menampilkan berita tentang krisis nasional yang kian memperburuk keadaan. Di antaranya, berita tentang meningkatnya angka pengangguran, kerugian ekonomi akibat judi online yang merajalela, dan skandal korupsi yang terus menghantui negeri.

Presiden Pratama Wijaya berdiri di balik jendela ruang kerjanya di istana kepresidenan, memandangi pemandangan kota yang tampak jauh berbeda dari saat ia pertama kali memimpin. Dia merasakan kehancuran yang nyata, seperti rumah yang dibangun dengan susah payah namun dihancurkan oleh tangan-tangan yang rakus. Judi online, yang awalnya hanya beredar di sudut-sudut gelap dunia maya, kini merusak kehidupan keluarga-keluarga, menghancurkan tatanan sosial, dan menguras kantong masyarakat kecil. Kemiskinan meroket, sementara kepercayaan publik pada pemerintahan jatuh ke titik terendah.

"Negeri ini tak lagi seperti dulu," gumamnya pada dirinya sendiri. Wajahnya mengeras, menunjukkan perpaduan antara kelelahan dan kegigihan. Dia tahu bahwa krisis yang melanda Sonoharu tidak akan dapat diatasi oleh politisi lama yang nyaman dalam jabatan mereka. Dibutuhkan sesuatu yang baru, sesuatu yang segar dan penuh keberanian.

Malam itu, Pratama mengadakan pertemuan darurat dengan para menteri dan penasihat seniornya. Suara gemuruh langkah kaki memenuhi lorong istana, sementara Pratama bersiap untuk menyampaikan keputusan yang telah ia pikirkan matang-matang. Di dalam ruang pertemuan, keheningan yang berat menyelimuti para peserta rapat. Pratama tahu bahwa sebagian dari mereka menunggu dengan cemas, karena krisis ini bisa mengguncang posisi mereka yang telah mapan.

“Kita berada di tengah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Pratama membuka pertemuan, suaranya tegas namun merangkul. “Sonoharu hampir tenggelam dalam korupsi dan manipulasi. Kita membutuhkan darah baru, pemimpin-pemimpin yang tidak hanya kuat, tetapi juga tulus dan siap berkorban demi negeri.”

Beberapa menteri senior bertukar pandang dengan khawatir. Mereka tahu apa yang akan diusulkan oleh presiden bukanlah keputusan biasa. Dengan tenang, Pratama menatap satu per satu wajah di hadapannya.

“Malam ini, saya mengumumkan dimulainya kompetisi nasional, Kursi Menteri Baru,” ucapnya tegas. “Kompetisi ini terbuka bagi siapa saja di negeri ini yang memiliki solusi, siap menghadapi tantangan terbesar dalam hidup mereka, dan bersedia berjuang untuk rakyat.”

Di balik pernyataan itu, ada ketegasan yang tak terbantahkan. Pratama bertekad untuk membawa negeri ini kembali ke jalur yang benar, bahkan jika ia harus melawan para politisi lama yang hanya peduli pada kepentingan pribadi mereka. Bagi mereka yang duduk nyaman dalam kekuasaan, keputusan ini adalah ancaman. Tetapi bagi rakyat yang menderita, keputusan ini adalah angin segar yang telah lama dinantikan.

Keesokan harinya, pidato Pratama disiarkan langsung di seluruh penjuru Sonoharu. Rakyat menyimak dengan penuh perhatian, dari kota besar hingga desa-desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Pratama berbicara dengan nada yang penuh empati dan harapan.

"Rakyat Negeri Sonoharu, hari ini kita tidak hanya akan berbicara tentang kehancuran," ujar Pratama, suaranya mantap namun lembut. "Hari ini, saya mengundang kalian untuk berbicara tentang kebangkitan."

Seluruh negeri terdiam, menyimak kalimat demi kalimat yang ia lontarkan dengan penuh keyakinan. Di layar televisi, wajah Pratama tampak bersungguh-sungguh, seolah-olah kata-kata itu keluar dari hatinya yang terdalam.

"Saya paham bahwa kepercayaan kalian pada pemerintah telah hancur. Saya paham bahwa kalian merasa seolah-olah negeri ini telah diambil alih oleh mereka yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil. Karena itulah, saya membuka kesempatan bagi siapa pun yang merasa memiliki solusi dan keberanian untuk mengikuti kompetisi ini."

Di antara mereka yang mendengarkan, lima orang mulai merasakan panggilan khusus dalam diri mereka. Mereka adalah orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengan penderitaan rakyat, orang-orang yang memiliki solusi nyata tetapi tak pernah diberi kesempatan. Surya Utama, Gilang Wijaya, Hendra Yudhistira, Eko Tirta, dan Mahesa Dirgantara merasakan getaran dalam hati mereka masing-masing.

Di tengah gemuruh angin sore yang membawa aroma hujan, rakyat Negeri Sonoharu berbicara dalam bisikan. Di pasar-pasar kecil hingga gedung-gedung megah di ibu kota, kabar tentang kompetisi ini menyebar dengan cepat. Bagi sebagian besar rakyat, pengumuman ini adalah jawaban atas doa-doa panjang mereka. Namun, bagi sebagian yang lain, ini adalah ancaman terhadap kekuasaan mereka.

Aryo Raharjo, mantan politisi yang pernah berada di lingkaran kekuasaan, mendengarkan berita itu dengan pandangan dingin. Bersama Junaedi Karsono, pengusaha licik yang selama ini bersekongkol dengannya, Aryo menyadari bahwa perubahan ini bisa menghancurkan jejaring korupsi yang telah mereka bangun. Dengan tenang, Aryo tersenyum sinis.

“Kita akan lihat seberapa jauh mereka bisa bertahan,” katanya dengan suara tenang namun penuh ancaman. “Anak-anak muda itu mungkin memiliki semangat, tetapi mereka tidak tahu bagaimana permainan ini berjalan.”

Mereka yang merasakan ancaman dari perubahan ini tidak akan tinggal diam. Aryo dan para birokrat senior yang telah lama berkuasa di Negeri Sonoharu mulai memikirkan strategi mereka untuk menjaga agar reformasi ini hanya sebatas angan-angan. Mereka tahu, bahwa kompetisi ini bisa menjadi awal dari kekalahan mereka, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menggagalkan rencana Pratama.

Gedung-gedung kementerian Negeri Sonoharu tampak megah dari luar, namun di dalamnya ada seluk-beluk kekuasaan yang penuh jebakan. Pada hari pertama mereka menjabat, Surya Utama, Gilang Wijaya, Hendra Yudhistira, Eko Tirta, dan Mahesa Dirgantara memasuki kantor baru mereka dengan semangat besar, siap membawa perubahan untuk negeri ini. Namun, sambutan yang mereka terima tidak sepenuhnya hangat.

Di ruangannya, Surya duduk di kursi barunya dengan tatapan penuh tekad. Ia merasakan tanggung jawab yang besar sebagai Menteri Pemberdayaan Agraria. Namun, tidak lama setelah ia duduk, seorang birokrat senior dengan ekspresi datar mengetuk pintu, menyerahkan tumpukan berkas yang mencurigakan. "Ini semua arsip yang perlu Anda pelajari, Pak Menteri," ucapnya dengan nada dingin. Surya menangkap ada nada ketidaksetujuan dalam suaranya, seolah-olah ia tidak percaya akan kemampuan Surya.

Sementara itu, di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Hendra Yudhistira dikelilingi oleh pejabat-pejabat senior yang mengalihkan pandangan saat ia mencoba berbicara tentang ide-idenya untuk memberantas situs judi online. Pejabat-pejabat itu memberikan alasan-alasan yang membuat Hendra mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketidakpedulian di balik sikap mereka.

Di sisi lain, Eko Tirta, Menteri Ekonomi yang baru, dihadapkan dengan proposal-proposal lama yang sarat kepentingan. Dalam salah satu proposal, seorang pejabat senior mengusulkan kenaikan pajak bagi golongan bawah untuk menutup defisit anggaran, sebuah ide yang tidak masuk akal bagi Eko. Ketika Eko menolaknya, pejabat itu tersenyum tipis, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata, tetapi ekspresinya jelas memperingatkan bahwa penolakan Eko tidak akan dilupakan.

Setiap menteri baru menghadapi bentuk penolakan dan tantangan yang berbeda, namun intinya sama: kekuatan lama di kementerian mereka tidak bersedia bekerja sama.

Suatu malam, Surya menerima panggilan telepon dari seorang staf junior yang bekerja di kementeriannya. "Pak Surya," katanya berbisik, seolah takut didengar orang lain, "saya mendengar bahwa Aryo Raharjo menggerakkan sejumlah birokrat untuk menghalangi proyek reforma agraria yang Anda rencanakan. Mereka berencana untuk menahan anggaran, dan bahkan mungkin akan memblokir proposal Anda."

Surya merasakan kemarahan membuncah. Dia menyadari bahwa Aryo, sosok lama yang terkenal licik, tidak akan mudah membiarkan mereka membawa perubahan. Tanpa membuang waktu, Surya menghubungi Gilang, Hendra, Eko, dan Mahesa untuk mengatur pertemuan rahasia di sebuah restoran kecil di pinggiran kota, jauh dari pusat pemerintahan dan jauh dari telinga para pengintai.

Di ruangan tersembunyi restoran itu, mereka berlima duduk mengelilingi meja kecil, wajah mereka mencerminkan ketegangan yang sama. Gilang menghela napas panjang sebelum memulai, "Aku baru saja mendapat informasi dari seorang kolega di Kementerian Luar Negeri bahwa Aryo sedang menggalang dukungan dari pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan di anggaran negara. Sepertinya mereka berniat untuk memutus semua akses pendanaan bagi kebijakan baru kita."

Surya mengangguk dengan muram. "Bukan hanya itu," tambahnya, "aku mendapat ancaman dari pihak tertentu agar menghentikan proyek reforma agraria. Jika tidak, mereka akan menemukan cara untuk menyingkirkan kita."

Hendra, yang sejak tadi mendengarkan dengan cermat, ikut bersuara. "Bukan hanya Surya yang mendapat ancaman. Aku juga baru saja menerima pesan dari sebuah perusahaan teknologi asing yang pernah aku batasi aksesnya karena terlibat dalam judi online. Mereka mengancam untuk menyebarkan desas-desus yang bisa merusak reputasiku jika aku terus menghalangi mereka."

Eko menatap rekan-rekannya dengan tegas. "Kita harus berhati-hati. Pengaruh Aryo tidak akan hilang begitu saja hanya karena kita terpilih sebagai menteri. Kita melawan sistem yang telah terjalin lama, dan dia tahu cara memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri."

Lihat selengkapnya