Pascarevolusi damai dan disahkannya undang-undang anti-korupsi, negeri Sonoharu tampak mulai bergerak menuju perubahan yang diharapkan. Di jalanan, rakyat kembali merasakan harapan setelah sekian lama berada dalam bayang-bayang rezim korup yang menghantui kehidupan mereka. Namun, di balik layar, para musuh lama tidak tinggal diam.
Di dalam penjara yang suram, Aryo Raharjo berdiri memandangi para pendukungnya yang diam-diam berkunjung. Meski terpenjara, pengaruh Aryo masih kuat di luar sana. Dengan tenang, ia mulai berbicara kepada mereka yang setia.
“Kita sudah lama menjadi bagian dari negeri ini,” katanya dengan senyum tipis. “Tidak mudah untuk ditundukkan hanya oleh sekumpulan anak muda yang baru belajar politik.” Aryo tahu, meski reformasi telah berjalan, tidak semua orang siap untuk melepaskan kekuasaan lama. Ia mulai menggerakkan jejaring pengaruhnya, menyusun strategi baru dari balik jeruji penjara.
Lewat perintahnya, mulailah penyebaran isu dan kabar burung yang merusak reputasi para menteri baru. Narasi miring tersebar luas: mereka dianggap "pemimpin tanpa pengalaman" yang "hanya mengincar popularitas," serta tudingan bahwa program-program mereka hanya memperkaya golongan tertentu.
Surya Utama, Menteri Pemberdayaan Agraria, mulai merasakan dampaknya. Beberapa penduduk yang dulu mendukung program reforma agraria kini tampak ragu. Di berbagai desa, kelompok-kelompok yang mendukung Aryo bergerak menyebarkan ketakutan bahwa reforma agraria hanya akan menguntungkan pengusaha besar, bukan rakyat kecil.
Di Kementerian Ekonomi, Eko Tirta pun mulai menghadapi masalah serupa. Program kesejahteraan rakyat yang ia gagas kini dipenuhi oleh kritikan-kritikan tajam di media. Kenaikan harga pangan yang disebabkan oleh permainan pasar menciptakan opini publik bahwa kebijakan ekonomi mereka justru membawa kesulitan baru.
Pada malam itu, kelima menteri bertemu dalam ruang rapat tertutup. Wajah-wajah mereka mencerminkan ketegangan yang sama. Mereka menyadari bahwa ini bukan sekadar rumor; ini adalah operasi yang dijalankan secara sistematis untuk merusak kepercayaan rakyat.
“Aryo mungkin saja tak memiliki akses langsung, tapi pengaruhnya masih kuat di luar sana,” ujar Gilang Wijaya, Menteri Luar Negeri. Ia pernah melihat bagaimana jaringan internasional bisa digunakan untuk menekan sebuah negara. Kini, ia merasa jaringan semacam itu juga bekerja di Sonoharu, memanfaatkan kondisi krisis untuk melawan reformasi.
Surya mengangguk, pandangannya menyapu wajah rekan-rekannya. “Kita tidak hanya melawan rumor. Ini adalah ujian kepercayaan dari rakyat. Kita harus memastikan mereka tahu bahwa reformasi ini tidak hanya sekadar janji politik.”
Keesokan harinya, Surya menemukan akun-akun media sosial dengan ribuan pengikut yang menyebarkan informasi palsu. Di antaranya ada tuduhan bahwa program reforma agraria mengancam hak milik penduduk, atau bahwa menteri baru ini "hanya mementingkan agenda sendiri." Terkadang, akun-akun tersebut memiliki identitas palsu, namun tampak profesional dalam pengemasan informasinya.
Hendra Yudhistira, Menteri Komunikasi dan Informatika, segera menyusun strategi untuk melawan serangan ini. Ia membentuk satuan tugas untuk melacak akun-akun yang aktif menyebarkan fitnah dan mengidentifikasi jaringan di belakangnya. Namun, di antara kebocoran data dan fitnah yang terus menyebar, Hendra menyadari bahwa ia berhadapan dengan lawan yang tangguh.
“Ini bukan operasi sederhana,” ungkap Hendra kepada Surya saat pertemuan mereka di sore hari. “Mereka menggunakan strategi yang canggih. Banyak akun-akun ini terhubung dengan media asing, dan mereka menciptakan narasi yang membuat rakyat meragukan keabsahan kita.”
Dalam rapat kabinet yang diadakan sepekan setelah gelombang fitnah pertama, Eko menyampaikan bahwa harga bahan pokok naik tajam. Ia menemukan bahwa penyebab utamanya adalah manipulasi pasar oleh para spekulan yang didukung oleh Junaedi Karsono, pengusaha yang dikenal sebagai sekutu Aryo. Para spekulan ini menimbun barang, lalu menaikkan harga secara dramatis hingga rakyat merasa kecewa dengan kebijakan ekonomi baru.
“Mereka bermain-main dengan perut rakyat,” kata Eko dengan nada frustrasi. “Dan dampaknya? Rakyat mulai menyalahkan kita.” Para menteri saling bertukar pandang, menyadari bahwa ini bukan lagi sekadar fitnah, tetapi sebuah serangan ekonomi yang dirancang untuk mengguncang pemerintahan baru.
Surya menatap rekan-rekannya dan berkata, “Kita harus memastikan distribusi yang adil. Eko, fokus pada kebutuhan pokok, kerahkan semua sumber daya untuk memastikan harga terkendali. Hendra, tingkatkan kampanye publikasi kita, pastikan rakyat tahu bahwa ini adalah permainan kotor pihak yang ingin menghancurkan kita.”
Menanggapi serangan bertubi-tubi ini, Surya dan rekan-rekannya memutuskan untuk mendekati rakyat secara langsung. Mereka mulai mengadakan kunjungan ke berbagai daerah, berdialog dengan masyarakat dan mendengarkan keluhan mereka. Dalam perjalanan, Surya teringat pada peringatan ibunya yang pernah berkata, “Rakyat akan selalu berdiri di belakang orang yang berani menunjukkan keberpihakan kepada mereka.”
Di alun-alun kota, Surya mengadakan pertemuan terbuka di mana ia menjelaskan langsung dampak dari manipulasi pasar yang dimainkan oleh para spekulan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah akan bekerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk memastikan distribusi pangan yang adil. Di depan ribuan orang yang berkumpul, ia menyatakan, “Kami tahu ini tidak mudah. Tapi kami di sini bukan untuk berdiam diri. Kami ada untuk mengawal reformasi yang kita perjuangkan bersama!”
Sedikit demi sedikit, kepercayaan rakyat mulai kembali. Gilang memanfaatkan pengalamannya di dunia diplomasi untuk memperkuat hubungan dengan media lokal, memastikan bahwa suara pemerintah yang sejati tersampaikan.
Di tengah semua ini, Hendra dan timnya berhasil melacak jaringan akun palsu yang ternyata didanai oleh perusahaan-perusahaan asing yang diuntungkan oleh bisnis judi online ilegal. Bersama-sama, para menteri menyusun serangan balik yang akan membawa perlawanan ini ke babak berikutnya.
Saat malam tiba dan langit Sonoharu dipenuhi bintang, para menteri ini menyadari bahwa gelombang pertama perlawanan telah mereka lalui. Namun, jauh di dalam hati mereka, ada perasaan bahwa musuh-musuh mereka akan semakin agresif ke depan. Aryo, Junaedi, dan para sekutu lama korupsi masih merencanakan langkah berikutnya. Tapi, di balik tantangan ini, para menteri juga merasa semakin kuat.
Di puncak malam, mereka bertemu kembali, mengucapkan janji untuk terus menjaga kepercayaan rakyat. Bagi mereka, setiap ancaman yang datang akan mereka hadapi bukan dengan kekerasan, tetapi dengan ketulusan dan keberanian yang telah mereka janjikan sejak awal.
Setelah serangan pertama dapat diatasi, para menteri baru di Sonoharu menyadari bahwa apa yang mereka hadapi adalah musuh yang tidak kasat mata jaringan lama yang tersembunyi di berbagai lapisan pemerintahan dan masyarakat. Namun, kali ini, lawan mereka tidak lagi hanya sekadar menyebar fitnah; mereka mulai merencanakan strategi yang lebih dalam dan berbahaya.
Di sebuah gedung terpencil di luar negeri, Junaedi Karsono duduk di hadapan perwakilan sebuah perusahaan multinasional yang memiliki pengaruh besar di Sonoharu. Mereka membahas rencana untuk melemahkan program reformasi yang tengah diupayakan oleh Surya dan rekan-rekannya.
“Kami tidak bisa membiarkan perubahan ini berjalan lebih jauh,” ujar Junaedi dengan nada penuh kepastian. “Jika mereka berhasil, kita akan kehilangan kontrol atas banyak hal. Reformasi mereka mengancam kepentingan kita di sini.”
Perwakilan perusahaan itu mengangguk, tatapannya dingin. “Jika kita ingin menjatuhkan mereka, kita harus bertindak cepat. Para pemimpin muda ini membawa semangat baru yang mulai mengguncang stabilitas kami. Anda perlu memastikan rakyat berpaling dari mereka.”
Di sana, mereka menyusun rencana untuk menyabotase beberapa proyek utama yang tengah dijalankan. Mereka ingin menciptakan krisis yang akan membuat rakyat merasa bahwa para menteri ini tidak mampu memimpin, dan menjadikan rakyat berpaling pada "pemimpin yang lebih berpengalaman."
Di dalam negeri, Surya menerima laporan bahwa proyek reforma agraria yang ia luncurkan mulai menghadapi penolakan keras dari sejumlah warga desa. Ternyata, agen-agen yang dikendalikan oleh Junaedi Karsono telah menyusup ke desa-desa tersebut, menghasut rakyat dengan informasi palsu. Mereka mengklaim bahwa program reforma hanya akan merugikan penduduk dan memperkaya pihak tertentu.
Sementara itu, Hendra Yudhistira di Kementerian Komunikasi menemukan tanda-tanda aktivitas mencurigakan di jaringan internal kementeriannya. Data sensitif tentang kebijakan pemberantasan judi online mulai menghilang tanpa jejak, dan beberapa dokumen penting didapati bocor ke pihak luar.
Saat Hendra menyelidiki lebih lanjut, ia menemukan bahwa beberapa pejabat senior telah menyetujui perjanjian dengan perusahaan teknologi asing tanpa persetujuan dari kementerian. Perjanjian tersebut memberikan akses ilegal ke informasi pemerintah dan membiarkan data sensitif rakyat dikelola oleh pihak asing.
“Ini pasti ulah jaringan lama yang masih tersisa,” ujar Hendra dengan penuh kekesalan kepada timnya. “Mereka tidak hanya ingin menghancurkan kredibilitas kita, mereka ingin memastikan kita tidak bisa bergerak.”
Di Kementerian Ekonomi, Eko Tirta menyadari ada kejanggalan dalam pasar keuangan. Setelah penelusuran mendalam, ia menemukan bahwa pihak-pihak tertentu sedang mengendalikan harga komoditas secara sistematis. Mereka menimbun bahan pokok, menciptakan kelangkaan, dan menaikkan harga untuk menciptakan keresahan di masyarakat.
Eko segera melaporkan temuannya kepada rekan-rekannya dalam sebuah pertemuan rahasia. “Jika kita tidak segera mengatasi ini, rakyat akan menganggap kita tidak kompeten,” kata Eko dengan nada serius. “Kita harus menemukan cara untuk mengamankan distribusi pangan dan memutus rantai kendali spekulan ini.”
Di bawah koordinasi Eko, mereka meluncurkan operasi rahasia yang melibatkan beberapa tokoh masyarakat dan pihak keamanan untuk mengawasi dan mengamankan jalur distribusi bahan pokok. Mereka membentuk jaringan distribusi rakyat untuk memastikan bahwa bahan-bahan kebutuhan pokok bisa sampai ke tangan masyarakat tanpa campur tangan spekulan.
Namun, di tengah upaya mereka, Junaedi mengirimkan ancaman kepada para pedagang yang bekerja sama dengan pemerintah, membuat mereka takut untuk bergerak. Situasi ini menjadi lebih rumit ketika beberapa pihak di parlemen, yang bersekutu dengan Aryo dan Junaedi, memblokir undang-undang tambahan yang diajukan Eko untuk memperketat pengawasan harga.
Di Kementerian Pertahanan, Mahesa Dirgantara menerima laporan bahwa beberapa perwira tinggi militer masih loyal kepada Aryo Raharjo. Perwira-perwira ini diam-diam memengaruhi pasukan, menyebarkan keraguan terhadap Mahesa dan menghasut agar militer tidak mendukung reformasi pertahanan yang tengah digagas. Mereka menyebut bahwa kebijakan-kebijakan baru Mahesa terlalu “idealistik” dan bisa melemahkan militer.