Di tengah jadwal yang padat, Surya Utama menerima undangan makan malam dari Giri Mahendra, teman lamanya sejak masa kuliah. Giri, yang pernah berjuang bersamanya dalam pergerakan reformasi, kini adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki pengaruh besar di Sonoharu. Surya ingat bahwa dulu mereka berbagi mimpi untuk membuat Sonoharu menjadi negeri yang lebih adil dan sejahtera. Maka, tanpa curiga, ia menyetujui undangan tersebut sebagai kesempatan untuk bernostalgia.
Pada malam yang cerah, Surya tiba di sebuah restoran mewah di pusat kota. Giri sudah menunggu di sebuah meja dengan senyuman hangat, menyambutnya dengan pelukan yang erat. Percakapan mereka awalnya dipenuhi dengan nostalgia. Giri mengenang masa-masa perjuangan bersama, menyebutkan betapa bangganya dia melihat Surya kini menjadi bagian dari jajaran menteri yang berani membuat perubahan besar untuk negeri.
Di sela-sela obrolan, Giri mulai berbicara tentang kesuksesannya dalam dunia bisnis dan betapa pentingnya peran sektor swasta dalam membantu pertumbuhan ekonomi negara. Sambil tersenyum, Giri berkata, “Kita ini sahabat sejati, Surya. Sama-sama berjuang untuk perubahan, tapi aku rasa peran kita sekarang saling melengkapi. Kau di pemerintah, aku di sektor bisnis.”
Surya tersenyum, namun ia merasa ada nada yang berbeda dalam pernyataan Giri seakan ada maksud lain yang tersembunyi di balik pujian dan nostalgia ini.
Setelah berbasa-basi, Giri akhirnya menyentuh topik yang ingin ia sampaikan sejak awal: sebuah proyek perkebunan besar yang diklaimnya dapat membuka ribuan lapangan kerja bagi rakyat Sonoharu. Ia menjelaskan rencana untuk mengembangkan area di perbatasan negeri yang kaya sumber daya, namun lahan tersebut adalah bagian dari program reforma agraria yang dipimpin oleh Surya.
Giri melontarkan idenya dengan cerdik. “Bayangkan, Surya, jika kita bisa bekerja sama. Dengan dukungan dari kementerianmu, proyek ini akan sukses besar. Rakyat mendapat pekerjaan, dan kita bisa membangun Sonoharu bersama. Apa yang kau pikirkan?”
Surya merasa dilema. Di satu sisi, ia menghargai niat Giri yang ingin menciptakan lapangan kerja, tetapi ia juga tahu bahwa reforma agraria bukan hanya soal ekonomi; ini adalah langkah untuk memperbaiki ketimpangan kepemilikan tanah yang menjadi masalah mendasar di Sonoharu. Ia berusaha menyampaikan bahwa program reforma agraria diutamakan untuk rakyat kecil yang berhak atas tanah itu, bukan untuk kepentingan perusahaan besar.
Mendengar penjelasan Surya, senyuman Giri mulai memudar. Tatapan matanya menjadi lebih tajam, seolah-olah Surya telah menolak sebuah tawaran yang mustahil untuk ditolak. Giri menyampaikan bahwa pemerintah sering kali gagal memberdayakan tanah-tanah tersebut dengan maksimal, dan perusahaan seperti miliknya dapat membantu.
“Kau tahu, Surya, tidak semua orang di Sonoharu merasa reforma agraria itu berhasil. Kita bisa bekerja sama untuk memastikan program ini benar-benar memberi hasil yang nyata, bukan sekadar idealisme.”
Surya menanggapi dengan tegas, “Tujuan reforma agraria bukan sekadar soal hasil ekonomi, Giri. Ini tentang mengembalikan hak rakyat, memberdayakan mereka secara mandiri, bukan hanya bergantung pada perusahaan besar.”
Giri menyandarkan diri ke kursinya, lalu berkata dengan nada dingin, “Kau harus ingat, Surya, dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi. Kadang, kepentingan lebih kuat daripada hubungan pribadi. Jangan sampai prinsip membuatmu kehilangan kesempatan besar.”
Sepulang dari makan malam, Surya merasa bimbang. Ia mengingat masa-masa ketika Giri dan dirinya berjuang di jalanan, membela hak rakyat. Namun, kenyataan bahwa sahabatnya kini berubah membuatnya merasa sedih sekaligus bingung. Di rumah, ia merenung tentang pertemuan itu, merasa bahwa Giri kini bukan lagi sahabat yang dikenalnya dulu. Ada sesuatu yang hilang dalam persahabatan mereka sesuatu yang dikalahkan oleh ambisi dan kepentingan pribadi.
Esoknya, Surya membagikan kekhawatirannya kepada para menteri lain, termasuk Eko dan Hendra. Mereka semua sepakat bahwa apa yang terjadi dengan Giri adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan dan pengaruh dapat merusak idealisme. Para menteri mendiskusikan cara untuk memperkuat sistem agar reforma agraria tidak lagi bisa diganggu oleh kepentingan-kepentingan pribadi.
Tak lama setelah itu, Surya mulai merasakan tekanan yang semakin besar di kementeriannya. Para stafnya menerima pesan-pesan anonim yang mengkritik kebijakan reforma agraria. Beberapa anggota parlemen, yang memiliki hubungan dengan dunia bisnis, mulai menentang program yang ia jalankan dan menyuarakan dukungan pada proyek seperti yang ditawarkan oleh Giri.
Surya sadar bahwa ini adalah awal dari pertarungan baru, di mana musuhnya tidak lagi hanya datang dari luar, tetapi dari orang-orang yang pernah ia percayai. Dengan dukungan para menteri lain, ia bertekad untuk menjaga integritas dan cita-cita reformasi. Namun, di lubuk hatinya, Surya merasa luka dari persahabatan yang telah berubah.
Di tengah upaya memperkuat reforma agraria, Hendra Yudhistira, Menteri Komunikasi dan Informatika, menerima laporan dari tim siber kementeriannya tentang adanya aktivitas mencurigakan dalam jaringan pemerintahan. Laporan tersebut menyebutkan peningkatan akses ilegal ke data sensitif mengenai kebijakan baru pemerintah. Akun-akun anonim ini tampaknya menggunakan teknik yang canggih untuk menghindari pelacakan dan menargetkan kementerian dengan tujuan yang sangat jelas: sabotase dari dalam.
Hendra segera menyadari bahwa ini bukan ancaman biasa. Ia tahu betul bahwa kebocoran data seperti ini bisa digunakan untuk melemahkan reformasi dan menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah. Melalui investigasi awal, tim Hendra mendapati bahwa serangan siber ini memiliki pola yang mirip dengan jaringan yang pernah mereka lacak sebelumnya, yang diduga terhubung dengan Aryo Raharjo dan sekutunya di luar negeri.
Hendra membagikan temuannya kepada Eko Tirta, Menteri Ekonomi, dan Surya Utama, Menteri Pemberdayaan Agraria. Eko menduga jaringan ini tidak hanya beroperasi secara digital tetapi juga melalui pelaku bisnis lokal dan beberapa oknum dalam pemerintahan. Ia mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan pokok akhir-akhir ini mungkin bukan hanya akibat faktor ekonomi, melainkan hasil manipulasi sistematis oleh spekulan yang memiliki koneksi ke beberapa petinggi bisnis besar.
Surya menyadari bahwa musuh-musuh reformasi kini telah menempatkan agen-agen mereka di berbagai sektor untuk mengganggu kebijakan baru yang berpihak pada rakyat kecil. Mereka bertiga menyimpulkan bahwa jaringan rahasia ini memiliki tujuan jelas: memanfaatkan celah dan kelemahan yang ada di pemerintahan untuk mempertahankan pengaruh dan kepentingan mereka, sekaligus meruntuhkan kepercayaan rakyat pada para menteri.
Di ruang pertemuan kementerian, Hendra menyoroti bahwa akun-akun di media sosial mulai ramai menyebarkan narasi negatif terhadap program-program pemerintah. Melalui teknologi analisis, Hendra menemukan bahwa banyak akun-akun anonim dengan pengikut besar yang terhubung ke jaringan luar negeri. Akun-akun ini tampaknya dibuat dengan identitas palsu, tetapi konten yang mereka sebarkan profesional dan sangat terencana. Banyak dari mereka berfokus menyebarkan isu bahwa reforma agraria hanya menguntungkan segelintir elite dan memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Di antara postingan tersebut, ada beberapa unggahan yang berisi gambar-gambar lahan yang disebut “dikuasai oleh pengusaha” di bawah reforma agraria, lengkap dengan tuduhan bahwa Surya “telah menjual tanah rakyat untuk keuntungan pribadi.” Narasi ini memicu amarah rakyat yang belum mendapatkan tanah dari program tersebut, dan keraguan terhadap pemerintah mulai meningkat.
Hendra merasa ini adalah bagian dari serangan psikologis, sebuah metode untuk mempengaruhi opini publik secara besar-besaran. “Kita berhadapan dengan lawan yang lihai dalam membentuk opini publik,” ungkap Hendra. “Mereka tahu bagaimana menggunakan ketakutan dan kekecewaan rakyat untuk melemahkan kita.”
Di saat yang sama, Eko Tirta menemukan pola-pola transaksi mencurigakan yang melibatkan perusahaan-perusahaan tertentu yang terkait dengan jaringan lama Aryo. Ia mendapati bahwa mereka melakukan operasi pasar gelap, menimbun bahan pokok, lalu menjualnya kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi ketika stok mulai menipis di pasar.
Ketika Hendra membagikan data akun-akun yang menyebarkan isu negatif, Eko mengenali beberapa nama yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan yang pernah ia investigasi sebelumnya. Jaringan ini memanfaatkan pasar gelap sebagai alat untuk menekan harga kebutuhan pokok, membuat rakyat merasa terbebani oleh harga tinggi, dan seolah-olah menyalahkan pemerintah baru atas situasi tersebut.
Eko dan timnya mendalami transaksi ini, melacak jejak digital yang menunjukkan bahwa beberapa transaksi mengalir ke luar negeri. Tampaknya, jaringan ini bukan hanya berusaha mengontrol opini publik, tetapi juga mengumpulkan dana besar untuk membiayai aksi sabotase terhadap kebijakan-kebijakan yang dijalankan para menteri.
Surya, Eko, dan Hendra menyadari bahwa untuk melawan jaringan ini, mereka membutuhkan strategi terkoordinasi. Dalam sebuah rapat rahasia di kementerian, ketiga menteri sepakat membentuk satuan tugas yang melibatkan pihak-pihak tepercaya dari berbagai latar belakang, termasuk organisasi masyarakat, untuk mengumpulkan informasi yang lebih rinci mengenai jaringan rahasia ini.
Hendra mulai memperketat keamanan informasi di kementeriannya, meningkatkan pengawasan terhadap akses-akses yang mencurigakan. Ia juga meluncurkan kampanye media sosial positif yang berfokus pada edukasi mengenai manfaat kebijakan reformasi untuk rakyat. Eko, di sisi lain, membentuk tim untuk memantau pergerakan harga bahan pokok dan bekerja sama dengan kelompok masyarakat untuk memastikan distribusi bahan pokok tetap aman dari spekulan.
Namun, mereka tahu bahwa langkah-langkah ini mungkin belum cukup untuk menghentikan jaringan yang terus berusaha merusak kebijakan mereka. Di tengah tekanan besar, mereka menyusun rencana untuk mengungkap jaringan ini kepada publik, dengan harapan bahwa transparansi dan keterlibatan rakyat akan membuat jaringan rahasia ini kehilangan kekuatan.
Mahesa Dirgantara, Menteri Pertahanan, telah melihat tanda-tanda ketidakloyalan dari beberapa perwira senior di kementeriannya. Mereka adalah figur-figur lama yang, di masa lalu, pernah bersekutu dengan Aryo Raharjo. Di bawah kepemimpinan baru Mahesa, para perwira ini mulai merasa terancam karena kebijakan reformasi pertahanan yang menuntut transparansi dan pengawasan ketat.