Pejabat Negeri Sonoharu

Tourtaleslights
Chapter #6

Tekad Mengelora

Malam telah larut di istana, dan Presiden Pratama Wijaya duduk sendirian di ruang kerjanya yang remang. Lampu meja menyinari tumpukan laporan dari kementerian, setiap halaman seakan menjadi pengingat akan janji-janji besar yang belum terpenuhi. Ia merasakan kegagalan bukan hanya sebagai angka, tetapi sebagai kekosongan janji kepada rakyat Sonoharu. Pikirannya melayang pada hari pelantikannya dulu, ketika ia berjanji akan membawa perubahan. "Apakah ini takdir yang harus kuhadapi?" batinnya, mempertanyakan dirinya sendiri.

Di saat kesunyian membungkus malam, ia memutuskan bahwa inilah saatnya untuk tidak lagi bergantung pada laporan semata. "Aku harus turun tangan langsung," tekadnya menguat. Ia sadar bahwa jika ingin perubahan, dia sendiri yang harus membuka jalan. Dengan itu, ia bangkit, mengakhiri renungannya, dan menyusun rencana.

Pagi berikutnya, saat matahari mulai bersinar lembut di balik kaca jendela istana, Pratama menatap jauh ke arah kota. Bayangan wajah-wajah rakyat yang pernah ia temui selama kampanye terlintas di pikirannya: seorang petani tua yang berjuang menjaga sawahnya, anak-anak di desa terpencil yang merindukan sekolah, dan ibu-ibu yang menunggu harga sembako yang stabil. "Mereka mempercayakan masa depan mereka kepadaku," gumamnya pelan.

Ia sadar bahwa kekecewaannya malam tadi bukan hanya kepada orang-orang di sekelilingnya, tetapi juga pada dirinya sendiri. "Aku tidak boleh menyerah, tidak di saat seperti ini," tekadnya semakin kuat. Janji itu kini terasa lebih berat, namun ia tahu bahwa tanggung jawab itu harus dipenuhi. Dirinya bersumpah bahwa janji-janji yang pernah ia ucapkan akan menjadi kenyataan, apa pun risiko yang harus ia hadapi.

Pada siang harinya, Presiden memanggil asisten khususnya, Arman, seorang pejabat muda yang memiliki rekam jejak baik. Arman masuk dengan membawa dokumen yang telah ia siapkan, tetapi ia bisa merasakan ketegangan dalam sikap Presiden. Pratama menatap Arman dengan serius dan berkata, “Apa pendapatmu, Arman? Mengapa hasil yang kita harapkan tidak tercapai?”

Arman terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan hati-hati, “Bapak Presiden, mungkin terlalu banyak kepentingan yang menghalangi. Para menteri bekerja, tapi seringkali lebih memprioritaskan agenda mereka sendiri. Dan... mungkin, terlalu banyak prosedur yang menghambat keputusan besar.” Jawaban itu membuat Presiden termenung. Pratama menyadari bahwa perubahan besar tidak akan terjadi dengan sekadar perintah. Ia harus mengubah sistem dan mungkin, mengganti orang-orang di dalamnya.

Malam harinya, setelah Arman kembali ke kediamannya, Presiden duduk sendiri di balkon istana. Langit malam tampak tenang, kontras dengan kegelisahan di hatinya. Ia merenungkan percakapan dengan Arman, menyadari bahwa perubahan tak akan terjadi tanpa langkah yang lebih berani. Tatapannya tajam menembus malam, seolah mencari kekuatan dari ketenangan yang terpancar di langit.

"Saya tidak akan membiarkan visi ini tertelan oleh birokrasi," gumamnya pada dirinya sendiri. Pratama tahu bahwa keputusannya akan mengundang risiko politik, mungkin bahkan kehilangan dukungan beberapa rekan lama. Namun, ia bertekad, demi rakyat Sonoharu, ia siap menghadapi risiko apa pun. Dengan napas dalam, ia mengukuhkan hatinya. Besok, ia akan mulai langkah baru yang tak bisa diabaikan oleh siapa pun di kabinetnya.

Pagi itu, suasana di ruang kerja Presiden terasa tegang. Presiden Pratama duduk dengan pandangan serius, dikelilingi oleh beberapa asisten khususnya yang tampak gelisah. Hari ini, ia telah memutuskan untuk menyampaikan teguran terbuka kepada seluruh kabinet, sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh presiden sebelumnya. Dengan nada tegas, ia berkata kepada timnya, “Kita tidak bisa membiarkan kelambanan ini terus berlanjut. Negeri ini tidak akan bergerak jika kita terus menoleransi kegagalan.”

Seorang asisten bertanya dengan hati-hati, “Apakah Bapak yakin ingin menyampaikan ini di depan umum? Risikonya bisa besar.” Pratama menatapnya dengan tajam. “Jika mereka tidak mampu menjalankan amanah, mereka harus siap digantikan,” jawabnya tanpa ragu. Timnya mengerti bahwa teguran hari ini akan menjadi titik balik bagi pemerintahan ini. Presiden Pratama mengangkat naskah pidatonya, mengubah beberapa kalimat terakhir, dan menguatkan tekadnya untuk berbicara dengan jujur.

Presiden Pratama memasuki aula utama, di mana seluruh anggota kabinetnya telah berkumpul. Di bawah sorotan kamera media, ia berdiri di atas podium, menatap satu per satu menterinya yang duduk di barisan depan. Suasana ruangan yang semula tenang berubah tegang saat Presiden mulai berbicara dengan nada penuh kekecewaan.

“Bapak dan Ibu sekalian,” suaranya terdengar jelas dan tegas, “Saya sudah mendengar banyak alasan tentang keterlambatan dan hambatan yang dihadapi. Namun, rakyat tidak membutuhkan alasan. Mereka butuh hasil.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. “Saya tidak akan menoleransi lagi kinerja yang tidak sesuai dengan visi kita. Kita harus bergerak maju, atau mundur.” Teguran ini membuat para menteri terdiam, beberapa bahkan tampak saling berpandangan, terkejut dengan ketegasan Presiden. Mereka menyadari bahwa kali ini, Pratama benar-benar serius.

Setelah pidato tegasnya, Presiden Pratama beranjak dari podium dan berjalan mendekati para menteri. Ia menegaskan kembali bahwa ia ingin mendengar rencana konkret dari setiap kementerian. “Mulai hari ini, setiap kementerian harus memiliki target yang jelas dengan tenggat waktu yang tidak boleh terlewati,” ujarnya dengan nada mantap. Ia menyebutkan bidang-bidang prioritas seperti pertanian, pendidikan, dan energi, yang menurutnya sangat mendesak untuk dibenahi.

Presiden menunjuk Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan, dan Menteri Energi, meminta mereka menyampaikan inisiatif yang lebih kuat dan berdampak nyata. “Saya ingin rencana ini dalam satu minggu. Tidak ada lagi penundaan. Saya ingin setiap rakyat Sonoharu melihat hasil dari apa yang kita kerjakan di sini,” tegasnya. Para menteri mengangguk, tetapi tatapan mereka mencerminkan campuran rasa gugup dan tekanan besar. Beberapa di antaranya bahkan mulai merasa bahwa jabatan mereka benar-benar terancam.

Setelah pertemuan berakhir, para menteri bergerombol di luar ruangan, membicarakan teguran Presiden yang keras. Di antara mereka, terdengar bisikan tentang kemungkinan pergantian posisi dan rumor pemecatan. Menteri Energi, yang merasa paling tersindir, tampak gelisah dan berbicara dengan beberapa rekan separtainya. “Apa maksud Presiden dengan rencana konkret ini? Apakah kita benar-benar harus menunjukkan hasil dalam waktu singkat?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.

Di sisi lain, Menteri Pertanian dan Menteri Pendidikan mendiskusikan langkah-langkah yang harus diambil untuk memenuhi permintaan Presiden. Menteri Pertanian bahkan berjanji untuk segera mengunjungi proyek-proyek lapangan guna memastikan kesiapan program swasembada pangan. Mereka menyadari bahwa ini bukan sekadar teguran biasa, tetapi ancaman yang bisa mengakhiri jabatan mereka. Desas-desus ini menyebar di kalangan para pejabat, dan mereka tahu bahwa Presiden Pratama tak segan-segan mengganti mereka yang dianggap tidak berkontribusi pada visi reformasi Sonoharu.

Di sebuah lapangan terbuka di wilayah pedesaan, Menteri Pertanian, Taufik Hamzah, berdiri di samping Presiden Pratama di depan ratusan petani yang telah berkumpul. Pratama memilih untuk meluncurkan program swasembada pangan langsung dari pusat kegiatan pertanian, bukan di istana, agar rakyat dapat menyaksikan komitmen langsung dari pemimpinnya. Dengan suara tegas, Taufik menjelaskan bahwa program ini akan memanfaatkan teknologi modern serta memberdayakan kearifan lokal guna mencapai swasembada pangan di Sonoharu.

Presiden Pratama kemudian maju ke podium, menyampaikan pesannya kepada para petani yang hadir. “Program ini bukan hanya sebuah kebijakan, tetapi bukti dari janji yang telah kami buat kepada kalian semua. Kami berkomitmen bahwa rakyat akan menjadi prioritas dalam pembangunan negeri ini,” ucapnya mantap. Para petani menyambutnya dengan tepuk tangan, mulai merasakan keyakinan baru bahwa pemerintah serius dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Pratama merasa langkah pertama ini berhasil, dan ia siap melanjutkan upaya lainnya.

Beberapa minggu kemudian, giliran Menteri Pendidikan dan Sosial, Ibu Ratna Soediro, yang meluncurkan inisiatif pendidikan untuk wilayah-wilayah terpencil. Bersama Presiden, ia mengunjungi sebuah desa di pedalaman, di mana akses pendidikan selama ini sangat terbatas. Di hadapan para guru, murid, dan orang tua, Ibu Ratna mengumumkan bahwa program ini akan membuka sekolah-sekolah baru, memperbaiki fasilitas, serta menyediakan tenaga pengajar terlatih untuk daerah yang sebelumnya terabaikan.

Presiden Pratama menyampaikan pidatonya di hadapan para warga desa, menyatakan bahwa setiap anak di Sonoharu berhak mendapatkan pendidikan yang layak. “Pendidikan adalah kunci kemajuan negeri ini, dan kita tidak boleh membiarkan satu pun anak Sonoharu tertinggal,” tegasnya. Para orang tua dan guru merasa harapan baru, mengapresiasi bahwa Presiden sendiri hadir untuk menunjukkan komitmen ini. Di sisi lain, Pratama memahami bahwa menjaga kepercayaan publik bukan hanya soal pidato, tetapi tindakan nyata di lapangan.

Lihat selengkapnya