Pejuang Konten

Marlina Lin
Chapter #2

Daya Tarik Dollar Hijau

Menjadi kreator konten video ternyata luar biasa menguji kesabaran!

Semula Lala mengira mereka-mereka yang tajir melintir sampai bisa berlibur keliling dunia berkat dari konten-konten yang sudah dimonetisasi, adalah para pemalas yang kurang kegiatan. Malas mencari kerja. Malas mengeluarkan modal. Malas membuka usaha. Hanya ingin hidup serba enak saja. Lala sebal sekali jika melihat berita atau postingan status tentang video viral. Bukankah enak sekali mereka? Hanya membuat konten, kemudian uang puluhan juta hingga miliaran rupiah diterima?!

Apakah Lala merasa iri? Jelas saja dia iri! Lala tidak mau munafik. Melihat kehidupan mereka berbanding terbalik dengan kepahitan yang dia jalani. Lala merasa nasib tidak adil bagi dirinya yang tertatih-tatih setiap hari. Hanya bermodal sensasi, cuap-cuap di layar kamera, lalu dollar mengalir deras ke rekening mereka. Belum lagi banjir endors hingga follower. Wah, banyak sekali untung mereka?

Namun akhirnya Lala menyadari kalau semua tuduhannya itu tidak seluruhnya benar. Menjadi kreator konten video ternyata perlu memiliki keterampilan berbicara, serta rasa percaya diri agar tidak gugup di hadapan kamera. Kreatifitas pun dibutuhkan agar para penonton tidak jenuh dengan konten yang itu-itu saja.

Fakta lainnya, menjadi kreator konten juga ternyata memerlukan modal! Ini yang Lala tidak duga sebelumnya. Dari modal kuota, mic, tripod, hingga peralatan lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan penunjang konten. Bagi amatir yang tidak didukung sponsor seperti dirinya, tentu semua itu harus memakai modal sendiri.

Belum lagi perjuangan-perjuangan yang dilalui selama syuting. Mulai dari kesalahan take, serta berbagai gangguan yang bukan hanya menguras energi, tetapi juga emosi!

Lala yang baru memulai profesi barunya sebagai youtuber, langsung dihadapkan pada dua pilihan. Lanjut atau menyerah? Dikarenakan semuanya membuat pikirannya ruwet juga. Lala berpikir apa dirinya tengah mendapat karma? Karena terlalu meremehkan, kini dia yang kesusahan.

"Ah udah lah, gue capek," keluhnya dengan nada dan raut muka yang sama-sama putus asa.

Gadis yang sudah kelelahan itu akhirnya membereskan semua peralatan, kemudian masuk kamar dengan gontai. Dia merasa perlu istirahat untuk menenangkan pikiran serta memulihkan stamina, sebelum ibunya pulang nanti.

Lala membaringkan tubuh di kasur, tetapi tidak bisa tertidur karena memang tidak mengantuk. Lagipula sebentar lagi memasuki waktu maghrib. Lala selalu ingat pantangan orang tua serta nasihat nenek-kakeknya, dilarang tidur pada jam-jam maghrib. Pamali. Akhirnya gadis itu hanya memeluk bantal guling, sambil memandangi langit-langit kamar.

Dia mulai mereview segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya sejak masa sekolah hingga tiba di detik ini. Setelah direnungkan dengan seksama, dirinya lebih sering mengalami kesialan daripada kesuksesan.

"Semengenaskan inikah hidup gue?" tanyanya pada diri sendiri, kemudian menghela napas berat karena tidak tahu jawabannya.

Terkadang Lala menyesal kenapa dirinya harus terlahir sebagai manusia yang kurang beruntung.

Jika dirinya bisa memilih, tentu Lala akan meminta terlahir dari keluarga kaya raya, putri selebriti, atau pewaris kerajaan bisnis besar yang mendunia. Sehingga tidak perlu memikirkan hari esok bagaimana, masih bisa beli kuota data atau tidak. Ke mana-mana dia hanya perlu membawa selembar kartu kredit yang bisa dia gesek untuk makan dan berbelanja sesukanya. Menyadari kenyataannya berbeda, dia hanya bisa mengelus dada.

Sebenarnya menjadi kreator konten maupun pekerja seni sama sekali tidak masuk dalam list cita-cita yang ingin dia gapai sejak SD hingga SMA. Gadis itu lebih tergiur menjadi seorang dokter yang terlihat keren dengan jas putih dan bisa menyelamatkan banyak nyawa. Tidak pula pramugari, polisi wanita, atau koki hotel bintang lima. Pokoknya dokter saja. Titik!

Sayangnya nasib seolah tidak mendukungnya. Semakin beranjak dewasa akhirnya Lala tahu mewujudkan cita-cita bukan hanya perkara keinginan. Karena ada hal penting yang juga dibutuhkan, yaitu biaya. Ditambah lagi tidak ada dukungan dari keluarga yang langsung menganggap cita-citanya mustahil direalisasikan.

"Enyak sama Babeh lu punya uang dari mana? Lu kira sekolah kedokteran kagak mahal? Kalau bikin cita-cita jangan ketinggian, La. Warisan kita juga udah kagak ada. Tanah Engkong lu udah dijual dari zaman Enyak SMP. Noh, kalau lu mau tau, yang sekarang udah jadi supermarket, tapi uangnya udah abis kemana. Sekarang yang penting lu kerja aja," sahut ibunya yang asli darah Betawi ketika dirinya lulus SMA. Membuat Lala hanya bisa menuliskan cita-citanya itu di buku harian.

Lihat selengkapnya