Lala ingat sore itu. Untuk pertama kalinya dirinya berani memasuki pusat perbelanjaan, kemudian reuni dengan seseorang.
Dengan mengenakan jaket hijau dan masker kain tiga lapis , dirinya langsung mencuci tangan dengan sabun atas perintah security, sebelum berjalan cepat menmuju gondola yang berisi produk-produk perawatan kulit dan wajah.
“Jangan nengok, jangan nengok ke tempat lain! Jangan nengok ke tempat bedak. Jangan jalan ke tempat es krim. Jangan datang ke rak cemilan. Ingat, lo sekarang lagi kere ya Lala. Dompet lo akan terisi lagi pada waktunya. Lo cuma perlu sabar menghadapi semua ujian kehidupan ini.”
Lala berkata pada dirinya sendiri dari balik masker. Dan benar saja, gadis itu begitu fokus tanpa mau menoleh ke lorong-lorong lainnya demi menghindari kecewa karena tidak sanggup membeli. Lala menarik napas dengan berat. Hanya satu barang, lalu pulang.
Setelah mengambil produk yang diincar dan mengecek tanggal kadaluarsa, dia buru-buru menuju kasir. Dan sejujurnya masih terjadi pergolakan batin. Haruskah dia benar-benar membeli, atau justru mengembalikannya lagi? Lala menggigit bibir, memikirkan keputusan besar yang akan dia ambil. Bukankah di saat pandemi, nominal lima puluh ribu begitu berarti?
Langkahnya akhirnya stag di radius tiga meter dari kasir wanita yang menatapnya dari balik face shield, yang sepertinya tidak sabar menunggunya untuk segera maju dan melakukan transaksi. Karena supermarket tersebut cukup sepi, tentu kemunculannya begitu mudah terdeteksi.
Lala menghela napas. Kenapa semua jadi seperti ini? Padahal tadi saat berangkat dia sudah berusaha untuk ikhlas, tetapi sekarang....
Pada saat itu tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya.
“Permisi, Mbak.”
Lala langsung menoleh, dan mendapati seorang perempuan yang rambut panjangnya diikat ekor kuda, tengah tersenyum padanya dari balik face shield. Sosok itu membuatnya terpaku sesaat.
Maskernya yang diturunkan hingga batas dagu, memperlihatkan bibirmya terlihat indah dan seksi dengan pulasan lipstik matte warna peach, alisnya tertata rapi, dengan tampilan kulit wajah yang membuat rasa irinya menjadi-jadi. Perempuan itu bukan hanya cantik dan segar, tetapi kulitnya juga begitu glowing!
Lala terpukau sambil membayangkan andai mereka bertukar posisi. Dia menjadi gadis itu yang semakin menawan selama pandemi, sementara dia menjadi dirinya yang kusam, dekil, berjerawat akibat banyak pikiran dan kesulitan keuangan.
“Mbak mau bayar duluan?”
Lala baru tersadar ketika gadis itu menegurnya kembali. Menanyakan siapa yang ingin lebih dulu melakukan transaksi mengingat hanya satu kasir yang terbuka.
“Oh silakan, Mbak saja dulu,” sahut Lala mengalah dengan ramah. Dia mundur dan memberikan ruang agar gadis itu beserta trolleynya yang dipenuhi belanjaan melewatinya. Ternyata bukan hanya penampilannya saja yang membuatnya iri, tetapi juga belanjaannya!
Refleks dirinya menyaksikan banyak sekali belanjaan yang diborong perempuan itu. Terlihat beberapa potong coklat mahal, aneka nugget kemasan, bumbu dapur, susu, vitamin, kotak-kotak es krim, berbagai biskuit dan camilan, serta sejumlah kebutuhan rumah tangga. Sebisa mungkin Lala menahan air liurya agar tidak menetes. Semua makanan mahal yang ada di sana sangat menggoda.
Pergilah, pergilah, cepat pergilah.... ujarnya dalam hati. Dia tidak ingin melihat barang-barang itu lagi.
Namun gadis itu bukannya maju. Dahinya mengernyit, dan tatapannya semakin tertuju padanya, yang tentu saja membuat Lala risih. Dia kurang nyaman diperhatikan seperti itu kecuali mereka saling mengenal. Lagipula, sepertinya gadis itu kalau bukan orang kaya pasti model atau artis. Belanjaannya saja pasti menyentuh angka jutaan.
“Kok, kayak kenal ya?”
“Hah?!”