Variety konten horor biasanya terdiri dari beberapa orang yang terkumpul dalam satu tim, kemudian menghadapi mahluk astral bersama-sama.
Orang yang paling berperan tentunya sang pemilik chanel, sebagai penggagas ide serta sosok yang paling banyak bicara tentang misi cerita. Dan tentunya dia juga harus berani segalanya, termasuk menyediakan modal. Dari akomodasi hingga konsumsi selama proses syuting berlangsung.
Setelah itu ada masih ada juru kamera. Biasanya juga turut serta sosok yang memiliki kemampuan khusus dalam hal mistis yang mampu melakukan mediasi atau negoisasi dengan para mahluk ghaib. Entah bagian dari tim atau tampil sebagai tamu undangan seperti orang-orang indigo atau paranormal yang tentunya bisa melihat segala sesuatu yang tidak mampu dilihat orang-orang biasa pada umumnya.
Itulah kesimpulan yang berhasil diambil Reino setelah menyaksikan jurnal-jurnal maupun ekspedisi horor yang sekarang ini lebih sering dilakukan youtuber dari pada televisi swasta. Banyak sekali chanel-chanel horor yang bertebaran, mulai dari sekadar mereview film atau novel, uji nyali, penelurusan sejarah, hingga nekat memasuki kawasan-kawasan yang memang terkenal menyeramkan. Dan benar saja, konten horor memang banyak peminatnya. Bukan hanya semata melalui dugaannya, tetapi dibuktikan dengan banyaknya jumlah viewer dalam setiap episodenya.
“Pantas aja video gue bisa viral,” katanya bangga.
Melalui analisa Jupri, kelebihan video Reino lainnya adalah karena murni kejadian nyata, mengingat dirinya pernah mendengar kabar kalau ada chanel orang indigo yang dituduh merekayasa kemunculan mahluk halus. Sama saja seperti membohongi penonton. Namun di video Reino, sosok putih yang tertawa malam-malam, sambil berayun-ayunan di dahan itu sama sekali bukan mahluk astral tiruan. Melainkan kuntilanak sungguhan!
“Sekarang tinggal mikirin idenya aja nih biar gue beneran bisa konsisten. Tapi caranya gimana?” gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala. Karena ini merupakan masalah terbesarnya.
Reino tidak memiliki satu anggota pun dalam proses syuting yang masih berada dalam tahap penggojlokan. Satu orang saja yang bisa menemaninya agar tidak terlalu ketakutan. Dirinya juga tidak memiliki kenalan orang indigo atau seseorang yang mau diajak berkolaborasi dengan sukarela.
Sementara untuk kameramen, Reino sebenarnya sudah berusaha mengajak anak tetangganya, Rivaldi yang saat ini duduk di bangku SMA. Karena sekolah masih sistem daring, tentunya anak itu mempunyai banyak waktu luang untuk diajak pergi-pergi meski pulang larut malam. Alasan lain yang tidak kalah menguntungan, anak seumuran Rivaldi pasti tidak akan menuntut banyak bayaran. Dengan iming-iming kuota internet saja, pasti sudah kesenangan. Namun ternyata, Reino terlalu menggampangkannya. Dia kaget karena anak itu menolak tawarannya.
“Saya nggak mau, Bang,” tolaknya, sambil bergidik ngeri.
“Lho, kenapa?”
“Nggak ah, saya mah takut sama hantu-hantuan. Maaf ya, Bang. Soalnya dulu mantan pacar saya suka kesurupan. Suka ngamuk-ngamuk, kadang saya sampai dijambak. Saya jadi trauma sama hal-hal mistis. Ngeri.”
“Oh, kalau gitu ya udah. Nggak apa-apa. Nanti Bang Reino coba cari asisten lain aja,” katanya dengan muka kecewa.
***
Akhirnya Reino pindah haluan kepada rekan-rekan kerjanya, tetapi semuanya juga melakukan penolakan. Padahal Reino hanya ingin ditemani sekali-sekali, bukan selamanya.