Keesokan paginya, Reino sudah pergi ke lapangan sesuai rencana.
Dia membawa ransel yang berisikan sejumlah barang-barang yang dibutuhkan meliputi peralatan yang akan digunakan serta perbekalan makanan. Tidak lupa pula dua botol air mineral. Meskipun bukan datang untuk kemping atau berolahraga, dia tidak ingin kelaparan selama berada di sana.
Demi menghindari pengeluaran dan menjaga kebersihan, Reino meminta mamanya untuk menggorengkan beberapa potong ayam yang bisa dia makan hingga sore hari. Karena dirinya sendiri tidak tahu akan pulang jam berapa. Tergantung bagaimana nanti tingkat keberhasilan hasil syutingnya.
Tentu saja Reino berharap semua video akan selesai dalam satu take saja. Semalaman dia sudah menulis kalimat-kalimat yang akan dia ucapkan mulai dari perkenalan hingga penutupan di buku tulis. Selain itu, Reino berencana mengambil rekaman untuk beberapa konten sekaligus, agar bisa konsisten mengupload permintaan subscriber tanpa harus menjelajah lokasi angker lainnya dalam waktu dekat. Mengingat dirinya harus benar-benar mempersiapkan nyali dan stamina, agar tidak japuh sakit, kesurupan bahkan jantungan.
Begitu terjun perdana ke lapangan sebagai kreator konten, akhirnya Reino menyadari kalau tidak ada perjuangan yang mudah jika ingin mendapatkan uang. Para selebriti bergelar sultan saja harus berusaha bahkan membuat aksi yang cukup gila jika ingin trending, apalagi orang biasa seperti dirinya?
Video penampakan kuntilanak yang tidak sengaja viral, bisa dikatakan suatu keberuntungan yang luar biasa. Hanya saja, belum tentu momen tersebut akan datang kedua kalinya. Karena itu, dia harus membulatkan tekad dan konsisten jika ingin menjadi kaya raya. Optimis pasti bisa!
Dengan mengendarai motor matik warna merah, dia tiba pukul sembilan. Mengenakan kaus dan celana hitam, tidak lupa Reino kembali melihat penampilan wajahnya melalui kaca spion. Kulitnya yang putih, terlihat mengkilap karena keringat.
“Fiuh, untung ini hari minggu. Jadi nggak iseng-iseng banget," gumamnya bersyukur.
Reino yang baru masuk setelah membeli karcis, langsung melihat orang-orang yang didominasi para remaja dan ibu-ibu yang mengenakan pakaian olahraga. Sesuai anjuran pemerintah, semua orang memakai masker termasuk dirinya.
Ada yang berlari-lari kecil, ada juga yang naik sepeda. Beberapa kendaraan terlihat di parkiran, yang berhadapan langsung dengan lapangan utama. Cuaca yang cerah di pagi itu, memang membuat orang-orang bersemangat untuk membakar lemak. Hanya saja memang tidak seramai saat Reino terakhir berkunjung ke sana, sebelum virus corona melanda.
Reino pun mulai berkeliling. Dia mengitari kawasan yang luas tersebut untuk mencari-cari lokasi yang pas. Ketika melihat danau yang berkilauan di bawah sinar matahari, dirinya memutuskan turun sejenak dari kendaraan. Berdiri di pinggir jalan melihat pemandangan.
“Bagus banget danaunya,” puji Reino. Dia merentangkan tangan sambil mengembuskan napas dalam-dalam.
Meski danau tersebut terkenal angker, tetapi kulitnya tidak merinding sekali pun. Pikiran Reino saat itu justru membayangkan konten percintaan. Rupanya dia terbawa suasana, seolah-olah bertemu dengan Amelia di sana. Gadis manis berambut panjang, yang tega memutuskannya lima bulan lalu, meski dirinya masih cinta.
Mereka berdua duduk di pinggiran danau, sambil mengobrol dengan ceria. Menggenggam tangannya, merangkul bahunya, kemudian membiarkan kepala Amelia bersandar di dada bidangnya dengan manja. Reino tidak akan mengusirnya meski pandemi memerintahkan untuk menjaga jarak satu dengan yang lainnya.
“Amelia oh Amelia,” gumamnya tanpa sadar.
Reino tersenyum seorang diri. Mengingat dengan jelas raut wajah serta nada suara gadis yang membuatnya belum bisa move on meski tersakiti. Begitu terbuai adegan romantis, menikmati suasana, dan baru tersadar dari lamunan saat seruan anak-anak kecil mengagetkannya.
“Bang! Abang baju item!”
Mendengar ternyata dirinya yang dipanggil, Reino menoleh. Dia memperhatikan tiga orang bocah laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya, tampak menunjuk-nunjuk sambil tertawa geli. Gigi mereka terlihat jelas karena tidak mengenakan masker. Entah di mana orang tua mereka, yang bisa-bisa membiarkan ketiga bocah itu berkeliaran.
“Eh, Bocah. Kenapa malah pada ngetawain?” omelnya. Seolah ada yang lucu atau ada yang salah pada sosok sekeren dirinya.
“Jangan ngelamun, Bang. Entar kesambet lho! Di sini kan banyak penunggunya!" Anak-anak itu rupanya berusaha menakut-nakuti dirinya.