Setelah berkeliling dengan motornya, akhirnya mereka tiba ke lokasi perkemahan yang paling ujung tepat di pukul dua belas siang. Tidak lama kemudian, terdengar suara adzan berkumandang.
“Lu pernah ke sini?”
Reino mencoba mencairkan suasana begitu Lala turun dari motor. Gadis itu langsung mengedarkan pandangan, kemudian menggeleng.
“Kalau ke perkemahan sini mah udah dari kecil. Tapi kalau ke bagian-bagian sini, gue belum pernah. Lu mau kita syuting di sini?” tanya Lala.
“Gue mau survey dulu,” sahutnya, tidak mau cepat-cepat membuat keputusan.
Sepasang matanya mulai memantau keadaan. Reino juga sedang mencoba meyakinkan diri apakah dia berani melakukan pengambilan video di sana, mengingat dari semua tempat yang sudah dia datangi di hari itu, lokasi tersebut lah yang terlihat paling suram. Ditambah lagi sangat tidak terawat.
Entah karena lokasinya berada di paling ujung yang jauh dari pintu utama atau mungkin ada alasan lainnya, sepertinya luput dari petugas kebersihan. Bukan hanya tumpukan daun-daun kering dan ranting pohon yang memenuhi area, tetapi rumput-rumput liar dan semak berduri pun dibiarkan menjulang. Tumbuh subur tanpa pernah dibabat. Reino sampai mengingatkan Lala agar hati-hati berjalan di sana. Karena bukan mustahil ada ular berbisa yang bersembunyi di semak-semak.
“Tempatnya kotor banget.”
Baru saja Reino berkomentar, tiba-tiba sebatang dahan jatuh tidak jauh dari tempatnya! Membuat dirinya nyaris terlonjak karena terkejut. Saat itu, Lala langsung mengingatkan.
“Lu kalau di tempat angker jangan suka ngomong sembarangan! Kita tuh harus sopan, permisi dulu, berdoa dulu,” tegur Lala.
“Iya, iya. Maaf,” katanya menyesal.
Lala menatap Reino. “Jadi gimana?”
Reino balik bertanya, “Apanya?”
“Ck, kita mau ambil video di sini apa tempat lain aja?”
“Menurut lu gimana?”
“Ya terserah lu aja. Ini kan konten lu, jadi semua keputusan lu yang bikin. Gue kan cuma jadi juru kamera.”
Sejujurnya jika melihat pemandangan, lokasi itu sangat pas untuk kontennya. Namun untuk menelusuri lebih jauh, diperlukan nyali yang luar biasa beraninya. Membuat Reino menjadi galau juga.
Sementara Lala menunggu kepastian dengan tidak sabar. “Buruan!”
Reino menarik napas. Jujur saja, dirinya sudah mulai ketakutan meski berusaha menyembunyikannya dari Lala. Dia tidak mau terlihat tidak ada keberanian sama sekali di hadapan gadis itu. Tentu saja karena gengsi.