Pejuang Nilai

Tama Neio
Chapter #1

PROLOG

Pembagian rapor sudah selesai, sekarang sudah malam. Adik laki-laki gue (yang kelas empat SD) masih nangis-nangis, kepalanya hampir benjut digebukin Ayah. Dia rangking terakhir, kalo gue rangking enam, Alhamdulillah gak digebukin tapi ... ada hal lain yang lebih istimewa.

Saat makan malam tiba, Ayah sama Bunda ngamuk-ngamuk, mereka marah-marah pas gue lagi sendok itu es krim ke mulut. Cuuuttt itu ngilunya mantap banget. Gusi gue tiba-tiba linu waktu denger Bunda ngomong, "Kenapa gak rangking satu??? Coba jelasin!" Bunda mulai nge-gas, tapi gue santuy.

"Padahal selalu diberi makan salmon sama vitamin-vitamin," sambung Ayah yang heran, dia langsung menyeruput segelas teh dingin yang butir-butir esnya mulai mengecil.

"Apa lagi yang kurang hah?" tanya Bunda lagi, kali ini nadanya semakin tinggi saat ia berhasil menelan cumi-cumi dan kentang goreng yang ia bumbui lagi dengan garam.

Seharusnya dia tak perlu lagi menambahinya garam, itu sudah asin, tapi Bunda berdalih; garam bisa membuat hari-harinya menjadi lebih berharga.

"Ayo! jawab Ardan!!!" Gue kaget dong, Bunda nge-gas lagi, rambutnya yang pendek sedikit bergetar saat ia merapatkan gigi-giginya sambil melotot ke arah gue, rahangnya mengeras. Tampaknya kesabaran Bunda mulai habis ngadepin gue yang gak pernah sama sekali jadi rangking satu sejak kelas satu Sekolah Dasar.

Dengan raut wajah yang masih jengkel, Bunda menyedot kasar minuman bersoda yang warnanya merah, gue tetap diam, kalo ngebantah takut dosa.

"Kan sudah sering dibilangin harus rangking satu ...," ujar Ayah.

"Bagaimana pun caranya kamu harus rangking satu!"

"Kapan lagi, Nak, kamu bisa buat kami bangga?"

Ayah mengelap kumisnya dengan tisu. Gue merinding waktu liat tatapannya yang garang, apalagi keningnya berkerut. Kalo lagi marah begini, dia lebih mirip orang kerasukan jin yang lagi di-ruqyah.

Sebelum keadaan semakin memanas, gue langsung ngomong baik-baik dengan nada yang pelan. "Ardan sudah usaha, Yah, tapi memang hasilnya belum memuaskan, Ardan janji bakal lebih giat lagi belajar." Gue harap mereka segera mengerti dan mulai melunak.

Ayah Bunda saling lirik satu sama lain, entah apa yang mereka pikirkan sekarang, yang jelas gue sudah lelah. Selang sedetik, kicauan lanjut lagi Cuy. Luar biasah.

"Apa perlu jadwal les kamu ditambah lagi???"

"Ja-jangan, Bun ...."

"Mungkin jadwal belajarmu kurang banyak, makanya kamu selalu terlihat bodoh."

Bagi gue ini adalah perang dunia ketiga. Memang benar senjata yang digunakan bukan lagi bom atom atau senjata-senjata kimia mematikan, melainkan hanya cukup menyerang dengan menggunakan lambe yang mampu membuat ubun-ubun berdenyut aduhay disertai dengan helai-helai rambut yang jatuh ke atas lantai.

"Seharusnya kamu tiru Ardin! Rangking satu bukan rangking enam!"

Ini sudah menjadi ritual rutin setiap semester. Mereka akan bersekongkol untuk melakukan serangan bertubi-tubi pada gue. Mereka akan menyindir nilai rapor gue, terus nasihatin gue, terus ceramahin gue sampai bibir mereka lelah berkibar. Sindiran tentang nilai rapor gue yang selalu berada di bawah Ardin akan diakhiri dengan makan bersama.

Penderitaan gue akan bertambah dua kali lipat saat makan malam bersama (seperti sekarang). Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, eeehhh ada genting yang ikut jatuh nimpuk dada gue tepat pada posisi hati berada. Ah, sakit sekali. Rasanya ... seperti ditusuk-tusuk jarum, ngilu-ngilu sedap uy.

"Makanya kamu tuh belajar yang bener, biar rangking satu ...."

"Rangking satu aja gak bisa! dasar lemah ...."

Astagfirullahalazim ... gue merasa terzalimi. Sontak gue langsung berdiri, sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Ya sudahlah ... gue bawa saja piring nasi ini ke ruang tamu.

"Eeehhh, mau ke mana?" cegat Ayah.

"Ke ruang tamu."

Lihat selengkapnya