Pejuang Nilai

Tama Neio
Chapter #7

Hari Nano-Nano

Gila sih makin ke sini kok cobaannya makin berat aja ya? Semua guru mata pelajaran seolah berlomba-lomba meluncurkan amunisinya, menembaki siswa bertubi-tubi dengan peluru-peluru tugas yang seakan tak ada habisnya.

Baru saja selesai tugas yang satu, sudah muncul lagi yang lain. Belum sampai lima menit menghirup udara bebas sudah ada tugas lain yang menunggu dan siap meremas paru-paru sampai titik napas penghabisan.

Inikah masa SMA? Kok gini amat ya? Gue kira bakal seindah dan seharum mawar melati. Ternyata ada kecut-kecutnya juga. Ya ... nano-nano lah ya ....

Untung gue udah selesaikan seluruh tugas tadi sore. Meski dengan terseok-seok dan napas ngos-ngosan, tapi Alhamdulillah sebelum jam lima sore semuanya sudah beres. 

Sekarang tinggal ngapalin pasal-pasal. Sumpah demi apa? Besok adalah penentuan diterima atau tidaknya gue di tim itu. Ya Allah ... waktu kok terasa cepet banget ya ....

"Ok, fokus ... fokus ...."

Gue pejemin mata, tarik napas dalam-dalam dan ....

"Ardaaannn ...."

Bruuut .... Ups gue kelepasan.

"Ardaaannn ...." Bunda memanggil.

Gue buka pintu kamar dan disuruh ke warung buat beli minyak angin. Bunda lagi gak enak badan, katanya masuk angin gara-gara cucian hari ini banyak plus kebanyakan makan ikan dongkol. Bunda sudah sering dinasihati untuk tidak banyak-banyak lagi makan seafood, tapi masih aja ngeyel, puyeng kan jadinya.

Karena gue tipe anak yang sangat berbakti pada orangtua, gue langsung beliin. Tapi pas gue mau ngeluarin motor hal tak terduga pun terjadi.

Mama Lizzy tiba-tiba beradu mulut dengan Tante Ita, yang tak lain adalah tetangga depan rumahnya sendiri. Perdebatan mereka cukup sengit malam ini, membahas seputar ayam peliharaan.

Akhir-akhir ini Mama Lizzy memang suka uring-uringan dan sering mengoceh tentang kotoran ayam yang selalu ia temukan di terasnya setiap hari.

Siapa lagi kalau bukan ayam peliharaan Tante Ita, si janda kaya beranak dua. Hanya dia yang memelihara ayam di sini.

Tiba-tiba gue mendengar sebuah kalimat dari mulut Tante Ita. "Udah lah ..., lu akuin aja! Pasti lu yang potong ayam gue kan??? Ngaku lo!!!"

"Kan udah gue bilangin minggu lalu ... kalo sampe ayam lo berak lagi di teras gue bakal gue potong lehernya!!"

"Gak bisa! Pokoknya lo harus bayar duit ke gue, kalo enggak, lu bakal gue laporin ke polisi!"

Dan ... cukuplah kalimat itu yang mengungkapkan segalanya. Permasalahannya adalah tentang ayam yang dipotong.

Karena gue sudah tau ending-nya bakal kayak gimana, jadi gue putusin buat bergegas membeli minyak angin ke warung Maret.

Gue geleng-geleng kepala, heran liat orang-orang yang suka gelut, apalagi sama tetangga sendiri. Itu adalah perkelahian yang ke sekian kalinya terjadi. Benar saja, pas gue pulang, mereka sudah damai lagi. Yang mendamaikan adalah Ayah, ketua RW di sini. Tentu saja damai antara Mama Lizzy dan Tante Ita adalah damai yang fana alias sementara. Bisa dipastikan akan ada keributan-keributan lain yang tak jauh-jauh dari suara motor yang terlalu bising, kotoran ayam yang bau, saling sebar fitnah, atau Tante Ita yang terlalu sering menyapa Papa Lizzy, sehingga Mama Lizzy seringkali murka.

Saat-saat seperti itu, anehnya gue gak melihat Lizzy di sana. Seharusnya sebagai anak yang baik dia ikut melerai perkelahian itu. Tapi mungkin dia juga sudah malas memisahkan Mamanya dengan Tante Ita.

Lihat selengkapnya