Pejuang Nilai

Tama Neio
Chapter #8

Perebutan Kursi

Tangan gue dingin, Cuy. Jantung gue kayak lagi dipukul-pukul sama martil, rasanya hampir mirip pas nembak cewek pertama kali.

Kok tiba-tiba jadi gugup gini ya? Tenang Dan! lo pasti bisa, lo pasti bisa gabung sama tim Nicoll.

Teeettt

Tooottt

Teeettt

Suara bel di depan ruangan bersahut-sahutan. Nicoll dan tiga senior lain membuat seleksi kali ini hampir menyerupai dengan lomba aslinya. Di mana tiga peserta harus berebut menjawab soal yang dilontarkan dengan cara menekan bel. Siapa yang menekan bel tercepat, dialah yang berhak menjawab soal. Tahap ini mereka sebut dengan babak rebutan (satu lawan satu).

Teeettt

"Ok, silahkan Kina!"

Gila! Demi apa? Kina banyak banget jawabnya. Dari lima belas soal yang diperebutkan dia bisa jawab sepuluh. Daebak, auto lulus dong.

Eh tapi kan abis ini masih ada lagi sesi wawancara. Nicoll bilang nilai babak satu lawan satu sama nilai wawancara bakal diakumulasi, siapa yang punya nilai tertinggi dialah yang lolos.

Oke, gue siap buat tempur.

"Selanjutnya ... silakan Ardan, Ardin, dan Rizky!"

What??? Kok asem ...? Gue disuruh lawan kembaran gue sendiri?Siapa yang buat formasi lawannya kayak gini? Dari sekian puluh yang ikut kenapa gue harus lawan dia?

Ah, bodo! Gue gak boleh takut sama dia! Yakin aja Dan lo bisa ngalahin dia!

Oke ..., gue maju dong, gue ambil posisi di meja sebelah kanan. Ardin di tengah, dan Rizky ambil posisi paling kiri.

Tangan gue sudah siap menekan bel, pikiran gue udah gue pertajam setajam silet. Di atas meja persegi itu sudah disediakan bel, setelah disuruh pencet bel dan kondisinya baik-baik saja barulah pertempuran dimulai.

"Soal pertama .... Eeeehhh kalian kembar ya?"

Teeeettt

Gue kepencet bel dong, so pasti ditertawai oleh puluhan orang yang ada di ruangan aula sekolah ini. Sumpah gue pikir itu soalnya. Ternyata hanya basa-basi.

"Ya, kami kembar, Kak," jawab Ardin.

"Siapa yang lahir duluan?" tanya senior itu lagi. Gue masih ingat namanya, Aini, senior paling bengis.

"Dia yang lahir duluan," jawab gue sambil menunjuk Ardin.

"Oh, jadi Ardin kakaknya ya. Ardan adiknya berarti?"

"Gak," sanggah gue, "Aku yang kakak, dia yang adik."

Sejujurnya gue sangat malas menjawab pertanyaan ini. Setiap kali ketemu orang baru pasti yang ditanya itu lagi, selalu itu, lagi dan lagi.

"Kok bisa gitu sih?" tanya Aini lagi.

Lihat selengkapnya