Pas gue sendok itu es batu ke mulut, cuuuut itu ngilunya berasa banget. Gue benar-benar kehilangan momen menikmati kelezatan nasi Padang. Alhasil gue putuskan hanya memakan Perkedel (Persatuan Kentang dan Telur)
Kenapa Ayah sama Bunda selalu bahas hal sensitif kayak gini pas lagi dinner?
"Ulangan matematikamu berapa, Ardin?"
"Seratus, Bun."
"Tuh kan! Ardan, nilai kamu selalu kecil di bawah Ardin. Kamu ini belajar gak sih?"
Eeettt dah ... kesel banget kan!!! Kalau pun gue jawab "belajar" pasti Bunda gak bakal percaya sama gue.
"Ya elah Bun, nilai Ardan kan delapan puluh delapan. Itu udah besar kok, paling besar nomor dua di kelas!"
"Kenapa harus nomor dua? Kenapa gak nomor satu?" tanya Ayah yang semakin membuat perdebatan ini memanas.
Bagaimanapun juga gue harus mengakui kalau gue cukup lemah kalau sudah berhadapan dengan rumus dan angka. Tapi, yang menjadi pertanyaan dalam benak gue, apakah Ayah sama Bunda tidak melihat kelebihan gue yang lain?
Sudah berulang kali gue jadi runner up lomba olahraga bridge (kartu) yang mengandalkan strategi, gue juga sering jadi juara harapan lomba baca puisi dan berpidato, atau kalau dalam pelajaran; gue minggu lalu dapat nilai ulangan harian biologi yang lebih besar ketimbang Ardin, meski selisihnya dua angka, tapi bukan yang terbesar di kelas.
Tapi kenapa mereka seolah tak mengakui pencapaian gue itu? Gue memang jarang dapat nilai sempurna (seratus) seperti yang selalu diraih Ardin, tapi lama kelamaan gue paham kalau yang harus gue lakukan sekarang adalah menerima, biar gak kepikiran terus tentang ketidakadilan ini. Capek kalau setiap hari harus meyakinkan Ayah Bunda kalau sebenarnya gue sudah berusaha dan lelah juga rasanya kalau setiap hari harus menjadi orang lain demi menggapai apa yang mereka inginkan.
Yang harus gue lakuin sekarang adalah berusaha sebaik mungkin untuk mencapai hasil maksimal. Gue harap juga ulangan matematika tadi bisa dapet seratus. Amin.
Setelah menghabiskan nasi Padang yang kelezatannya hilang itu, gue langsung ikut Bunda buat bersihin meja makan, setelah itu langsung pergi ke teras depan buat ngadem.
Astaga gue lupa lagi, Malika masih di luar ternyata. Gue panggil kucing betina itu agar mendekat ke arah gue yang duduk di kursi teras.
"MasyaAllah ... perut lo makin besar ya." Gue raba-raba tuh perut Malika, eh gue kaget dong, kayak ada yang gerak-gerak gitu. Itu pasti anaknya.
"ARDAN!!!"
Astaga, tuh nenek gayung datang lagi. Kapan dia nongol? Gue gak tau. Lizzy melangkah dari teras rumahnya ke teras rumah gue. Rumah kami memang tidak ada pagar pembatas sehingga cewek itu bisa leluasa mengganggu gue, bahkan dia diizinkan oleh Bunda buat masuk ke kamar gue. Apa-apaan ini?
Tapi setidaknya gue harus bersyukur karena satu sahabat masa kecil gue yang lebih bar-bar dari Lizzy sudah pindah rumah ke kota lain. Dulu dia tinggal tepat di depan rumah gue, namanya Bunga, cewek itu fobia bunga.
Pernah gue kasih dia bunga melati eh gue malah ditimpuk pakai sandal, sakit dong, sampe benjut pala gue. Lizzy juga pernah iseng melemparkan bunga taik ayam padanya, pulang-pulang Lizzy harus ke dokter gigi lantaran satu gigi serinya copot karena ditonjok bunga. Untung Lizzy masih masa pertumbuhan waktu itu, jadi giginya bisa tumbuh lagi.
Bunga memang lebih main fisik alias kasar, tapi kalau Lizzy kebar-barannya hanya sebatas ucapan dan pikiran yang agak miring sedikit. Yah, setidaknya itulah yang harus gue syukuri. Alhamdulillah.
Lihatlah! Sekarang Lizzy tiba-tiba sudah duduk di lantai teras gue.