Satu hal yang gue lupain saat penyisihan tadi. Saking kelewat fokusnya gue sama lomba, gue jadi gak kepikiran lagi buat cari cewek misterius yang katanya mau dateng dan kasih suport ke gue pas lomba dimulai.
Hal ini cukup mengganggu pikiran, sampai malam tiba pun gue jadi susah tidur. Sumpah ... gue penasaran bingit sama tuh cewek. Kok bisa ya orang yang gak gue kenal buat penasaran kayak gini? Mukanya aja gue gak tau. Masak iya hanya karena surat cinta bertabur teror bisa buat gue jadi kepo setengah mati? Biasanya kan gue paling anti kepo sama orang asing.
Ah bodo, mending gue bobo. Eh, tiba-tiba gue inget! kayaknya tadi gak ada suporter yang datang deh. Boro-boro mau datang buat suport, yang ada justru dimarahin guru kalau bolos sekolah (hanya karena ingin menonton lomba), apalagi Pak Aman.
Tapi bisa aja kan dia dateng besok. Semoga aja tim gue masuk final. Bu Yanti bilang kalau seandainya tim kami masuk final, Bu Susan S.Pd., S.Mn., M.Si. bakalan undang suporter yang banyak dari murid-murid sekolah kami guna memeriahkan acara final.
Semoga aja kejadian Ya Allah, tim kami lolos sampai final dan menang, biar bisa lanjut lomba provinsi. Aamiin....
***
Detik-detik berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kami sudah dihadapkan pada kenyataan yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Gue sama yang lain baru saja turun dari podium dengan berhiaskan wajah ceria. Kami baru saja memenangkan pertandingan semifinal dengan nilai yang cukup jauh dari tim lawan.
Mimpi apa gue semalem Cuy???
"Kita masuk final!" pekik Aini.
Panitia lomba memberi jeda waktu tiga puluh menit sebelum babak final dimulai. Tentu saja kami memanfaatkannya untuk beristirahat dan mempersiapkan mental untuk melawan dua tim lain yang punya kemampuan luar biasa itu.
"Pokoknya harus tetap tenang. Fokuskan diri kalian untuk memberikan yang terbaik buat nama sekolah kita." Bu Yanti tak henti-hentinya memberi suport untuk kami. Setelahnya, dia langsung menghubungi Bu Susan lewat telepon.
"Halo Bu .... Alhamdulillah tim kita masuk final ...."
Restin kembali mengadakan kunjungan ke toilet, sedangkan Lizzy kembali bercermin.
Babak kali ini sangat berat. Sebenarnya optimis buat menang itu selalu ada, tapi tetap saja rasa cemas itu selalu datang, tak bisa terelakkan, pasti muncul dalam benak kami semua. Pasalnya dua lawan yang akan kami hadapi ini adalah sekolah yang sama-sama sudah punya pengalaman bertanding di provinsi, tentu mereka punya kekuatan lebih untuk membuat strategi agar bisa menang dalam perlombaan kali ini.
Nilai yang kami raih di semifinal pun bisa dibilang pas-pasan ketimbang nilai dua tim lain yang juga masuk final itu. Meski begitu, tak ada yang bisa memastikan tim siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam perlombaan tahun ini.
"Chek chek ... Baiklah ... kepada para finalis silakan bersiap-siap!" titah Mbak Cantik yang menjadi pemandu acara.
"Aduuuhhh kok gue mau boker lagi ya?" cemas Restin yang baru saja datang.
"Lah tadi kan udah boker?" tanya gue.
"Ya ini mau boker lagi!"
"Astaga ...," timpal Ardin yang ikut cemas.
"Tahan aja bisa gak? Ini mau mulai lombanya!"
"Ya udah gue tahan." Wajah Restin terlihat tegang, gue harap dia bisa menghadapi cobaan yang menerpanya sampai acara selesai. Semoga dia tidak boker di atas podium. Amin.
Nicoll kembali mengumpulkan kami bersepuluh. Kami berdiri sambil membentuk lingkaran dan merangkul satu sama lain.
"Ini adalah langkah yang menentukan apakah tim kita tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Menang atau kalah memang sudah biasa, tapi setidaknya kita harus punya tekad kuat untuk menang hari ini, kita harus buktiin kalau perjuangan kita yang berat dua bulan lalu akan membuahkan hasil yang manis, terutama untuk mengharumkan nama sekolah kita. Ini kesempatan kita buat mengukir sejarah, kesempatan gak datang dua kali. Jadi gue mohon berikanlah kontribusi terbaik kalian dalam tim ini. Oke ...."
Nicoll memimpin doa. Tepat setelah kami selesai memohon pada Yang Maha Kuasa dan mengusap wajah, Mbak cantik memanggil peserta satu persatu.