PEKA

Mariza Agustina
Chapter #3

Kehidupan Baru

Aku berlari dengan gembira, setelah membaca pengumuman seleksi PTN.

“yeyyyy I got it, wuuuuu….omaa!!!!!!” Dari halaman rumah aku berteriak sangat keras memanggil oma. Aku ngga nemuin oma di ruang keluarga, di kamarnya, dan di dapur. Maka pasti jawabannya adalah…di taman. Aku langsung berlari menuju taman sambil celingukan mencari sosok oma. Taman yang letaknya di belakang rumahku ini cukup luas. Dan isinya bunga-bunga kesukaan oma – anggrek, matahari, krisan, mawar, dan masih banyak lagi – yang oma tanam dan rawat sendiri.

“omaa…!!!” teriakku memanggil oma yang belum juga aku temuin. “Arghhh…” teriakku seraya terperanjat kaget melihat oma yang tiba-tiba nongol di balik pohon cemara.

“kenapa atuh Nay…kamu teriak-teriak seperti itu. Asal kamu tau ya, pendengaran oma ini masih baik. Kamu bisik-bisik dari situ, oma masih bisa dengar…” omel oma, yang lebih terdengar kayak nasehat.

Oma adalah orang paling lembut di dunia – menurutku. Oma sabaaarrr banget, penyayang, dan ngga pernah marah. Oma itu kalau marah kayak orang yang ngasih nasehat, ngga ada bentak-bentakannya sama sekali. Tapi ada satu hal yang selalu oma keluhkan, yaitu kalau aku mulai berteriak-teriak dan bertingkah pecicilan.

“Masa??? Beneran oma bisa dengar kalo aku bisik-bisik dari sini?” ucapku godain oma yang over percaya diri sama pendengarannya. Oma itu usianya hampir 67 tahun, mana mungkin dia bisa dengar aku bisik-bisik dari jarak sekitar 2 meter. Bahkan yang belum tua kayak oma aja, aku ngga yakin bisa dengar.

“ih… kamu atuh Nay, oma bercanda. Ada apa? Kenapa kamu mencari oma sampai teriak-teriak begitu?”

Aku mendekati oma dan mulai bercerita dengan antusias.

“oma tau ngga, aku lulus seleksi PTN oma…yeeee….” Ucapku sambil memeluk oma dengan erat. Tapi wajah oma justru ngga nunjukin kalau dia senang sama sepertiku.

“oma kok ngga senang gitu sih? Ini aku lulus loh oma…di kampus dan jurusan yang aku mau lagi. Atau oma khawatir? Tenang aja oma, aku udah gede. Aku udah bisa jaga diri sendiri kok. Ini kan semuanya demi kita oma. Nanti kalau Nayla udah lulus kan bisa gantiin oma buat nerusin usahanya oma…” cerocosku yang mencoba membuat oma tenang dan merestui aku buat kuliah di tempat yang aku mau.

Jadi isi dari pengumuman itu adalah aku lulus dan diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, jurusan manajemen, Universitas Brawijaya – dream come true.

“oma….” Rengekku ke oma yang sedari tadi tetap diam sambil memasang wajah sedih.

“di Malang?” tanya oma – akhirnya.

“iya dong oma. Oma tau ngga, jurusan manjemen disana itu bagus banget, lagian Malang itu aman kok, orangnya ramah-ramah, tempatnya enak lagi, dingin. Jadi oma ngga usah khawatir ya…” jelasku yang menambah baik image Malang dan calon kampusku di depan oma.

“kenapa kamu nggak kuliah di Bogor aja Nay…yang dekat, kan satu kota. Atau di Bandung yang nggak terlalu jauh… atau nggak di Jakarta gimana? Biar bisa satu kota sama Mama kamu…jurusan kuliah yang kamu mau kan juga ada disitu…” bujuk oma halus.

“ngga bisa oma.” Jawabku bersikeras.

“Nay…oma bukan khawatir masalah kamu dalam menjaga diri…oma yakin kamu sudah dewasa dan sudah bisa menjaga diri dengan baik…tapi kalau kamu kuliah disana, nanti kamu semakin jauh sama mama kamu…”

“oma! Justru karena itu aku mau kuliah disana. Percuma juga aku kuliah di dekat atau bahkan satu kota sama mama, dia ngga bakalan peduli oma…” akhirnya aku mengungkapkan alasanku kuliah disana. Oma benar, di tempat-tempat yang oma sebutin itu juga ada jurusan kuliah yang aku mau – dan ngga kalah bagusnya – tapi bukan itu tujuan utama ku, kalau oma mau tau.

“Oma….ini itu bukan masalah jarak oma…kalau emang mama mau memperbaiki semuanya, meskipun aku di Malang atau bahkan aku di luar negeri sekalipun, ngga bakalan ngaruh oma…jadi ijinin aku kuliah disana ya oma…” ucapku lembut berusaha meyakinkan oma yang mulai menunduk sedih karena kuatnya niatku buat kuliah disana.

“tapi kamu harus janji satu hal sama oma…” oma melihatku dengan tatapan nanar.

“kamu nggak boleh lebih jauh lagi sama mama kamu ya Nay…” tambahnya. Oma menitikkan air mata setelah ngomong itu. Aku tau, susah emang, bagi seorang nenek yang ngelihat anaknya sendiri sangat berjarak sama cucunya. Aku memeluk oma dengan erat. Tapi tentang janji itu…maaf oma, untuk saat ini masih belum bisa ku sepakati.

***

Malang. 17.00 WIB, hari pertama aku menginjakkan kaki disini. Setelah sampai di kota ini, aku langsung memesan ojek online menuju tempat kos yang direkomendasiin sama kakak kelasku dulu. Sayangnya sekarang dia udah lulus. Disini, kota asing dan ngga kenal siapapun. Fix, aku harus survive sendiri.

“semangat Nay!!!” teriakku spontan setelah bengong beberapa saat di samping bis yang tadi aku naikin.

‘aduh…bego banget sih. Dasar ngga tau malu!’ rutuk ku dalam hati setelah membuat kaget orang sekitar dengan teriakan ku.

Setelah teriakan tiba-tiba tadi, orang-orang mulai ngelihatin aku dengan branding ‘orang aneh’. Tapi untungnya tukang ojek yang aku pesen cepet datang, jadi aku bisa langsung melarikan diri.

Sepanjang jalan menuju tempat kos, aku mengutuki sikap ku yang memang suka ‘ngga tau situasi’ dan mulutku yang suka nyablak sembarangan. Ah sial…kenapa aku ngga diberkati dengan sikap anggun kayak princess sih.

Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan, akhirnya aku sampai juga di tempat kos. Kesan pertama melihat kos ini, bagus, besar, dan bersih. Semoga penghuninya juga bisa bersahabat dengan baik.

Tok tok tok…

Aku membunyikan gembok besar yang mengunci pagar kos. Ngga lama kemudian, keluar seorang wanita berambut sebahu, dengan rahang tegas – khas perempuan Batak.

“Nayla kah?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

“iya kak” jawabku sambil tersenyum tidak kalah ramah.

“ayo masuk!” dia membantuku membawa koperku sambil menuntunku masuk ke dalam. “oh iya, aku Gita. Tadi aku udah dikasihtau ibuk kos kalau kamu mau datang” tambahnya yang cuma aku balas dengan anggukan.

“uhmm…kalau boleh tau, kakak semester berapa ya?” tanyaku basa-basi.

“semester 5. Eh jangan panggil kakak nah…panggil mbak aja, hehehe” pintanya.

“hehe, iya mbak.”

“nah, disini kamarmu” ucapnya sambil membukakan kamar – cukup besar – yang ada di lantai 2.

“oh iya, terima kasih ya mbak.”

“iya, sama-sama. Hmmm… Nay, aku ke kamar dulu ya, mau ngerjain tugas soalnya” ucapnya berpamitan

“iya mbak, maaf ya jadi ganggu” jawabku ngga enak hati.

Lihat selengkapnya