Satu tahun kemudian.
Pagi ini Bogor hujan sangat deras. Beginilah Bogor, sering hujan, tapi tetap panas. Kalau berbicara tentang Bogor dan hujan, aku jadi ingat gimana ekspresi bingung Mas Kiki dulu pas waktu Bogor mengalami hujan sebanyak 3 kali sehari. Udah kayak jadwal minum obat, katanya. Abis itu aku ketawa gara-gara candaan itu. Kadang momen-momen kayak gitu emang masih bisa hidup dengan baik di tempat, waktu, dan keadaan tertentu di masa depan. Sekarang, misalnya.
Tentang Mas Kiki…sebelumnya aku mau berterima kasih sama Kota Malang yang pernah mempertemukan aku sama dia. Aku pernah dicintai oleh orang sepertinya…aku pasti sangat diberkati oleh Tuhan. Sekarang hal yang bisa aku lakukan untuknya adalah bersyukur atas waktu yang pernah mengisahkan tentang kita. Lalu membiarkan dia hidup dan terkenang di masa lalu – dalam hatiku.
Udah hampir satu jam aku duduk termenung di dekat jendela sambil meratapi kenangan masa lalu. Setelah aku wisuda 3 hari yang lalu, aku langsung memutuskan buat balik ke Bogor. Seperti janji ku sama oma dulu, aku bakalan nglanjutin rumah makan oma setelah aku lulus. Tapi oma malah nyuruh aku buat lanjut kuliah. Menurut oma, usaha rumah makan itu biar aja jadi urusan oma, tugasku adalah menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Begitu lah kebiasaan oma, selalu menuntun ku buat menggapai apa yang sebenarnya aku butuhkan – bahkan saat aku sendiri ngga tau apa yang lebih penting buat ku. Semua ucapan oma demi kebaikan ku, ngga akan pernah aku bantah sedikit pun – paling cuma ‘cek-cok’ bentar, abis itu tetap aku jalan kan.
“Nay….” panggil oma, membuyarkan lamunan ku.
“sarapan dulu…ini Teh Leni udah masakin kesukaan kamu” tambah nya.
Tanpa basa-basi aku langsung bergerak ke dapur. Prinsip ku soal sedih itu satu, hati boleh kacau, tapi perut jangan, xoxo.
“Nay, mama kamu tadi telfon oma, katanya dia sudah mengurus semua yang kamu perlukan untuk kuliah di luar negeri”
‘hah, mama apaan sih, main urus aja tanpa minta pendapat ku’ batin ku, kesel.
“kenapa mama ngga ngomong langsung ke aku?” tanya ku, jutek.
“mama kamu lagi sibuk di kantor, dia punya banyak klien” jelas oma.
‘mama ya mama, ngga akan pernah berniat buat berubah’ batin ku.
***
Di luar masih hujan saat waktu udah ada di pertengahan hari. Sekarang aku lagi sibuk menyelesaikan lukisan ku, tentang dua pemuda yang berjalan beriringan. Mereka terlihat dingin dan canggung satu sama lain. Tapi dari sudut lain, ada bayang-bayang mereka yang sedang bergandengan tangan dengan hangat. Pesan yang pengen aku sampaikan dari lukisan ini yaitu ngga ada yang bisa mengira apa yang sebenarnya terjadi di depan mata mereka.
Oh iya, sejak satu tahun yang lalu, aku jadi suka melukis. Entahlah, aku pengen aja mengisi waktu luang ku. Perjalanan selama satu tahun silam, memberiku jawaban tentang alasan seorang penulis yang mempercepat berlalu nya waktu milik karakter pada kisah yang mereka tulis. Aku membuat dua kesimpulan, yang pertama adalah ngga ada hal menarik yang terjadi pada si karakter sebelum waktu di persingkat, dan yang kedua adalah kehidupan si karakter kembali lagi pada kehidupan awal sebelum kisah dimulai.
Sama sepertiku, ngga ada hal menarik selama satu tahun ke belakang. Aku bahkan ngga bisa menemukan alasan menarik di balik hobby baru ku itu.
Drrttt…drrttt…drrttt…
Panggilan tiba-tiba dari orang yang tak terduga.
“halo?” jawabku, hati-hati.
“dong…”
Suara nya masih terdengar sama seperti satu tahun yang lalu.
“kenapa Mbak Rev?”
Orang tak terduga itu adalah Mbak Reva. Sejak kejadian satu tahun yang lalu, kita ngga pernah tau keadaan masing-masing secara langsung – paling dari sosial media, yang kebanyakan adalah palsu. Mbak Reva dapat kerjaan di Jakarta, Mbak Gita balik ke kampungnya, Mas Adi ngikut kerja di satu provinsi sama Mbak Gita, Mas Nando lanjut kuliah di Bandung, dan Mas Kiki…dia mengurus bisnis hotel punya keluarganya – yang belum lama ini aku tau. Cuma itu kabar sekilas dari mereka yang aku tau sampai sekarang.
“gimana kabar kamu?” tanya nya, canggung.
Orang asing yang dianggap keluarga se darah, lalu diasingkan lagi. Itu adalah apa yang aku rasakan waktu Mbak Reva memutuskan hubungan sama aku. Untuk sekarang ini aku ngga tau, aku bakalan dianggap keluarga lagi, apa ada niatan lain.
“baik mbak…Mbak Rev gimana?” tanya ku – balik – yang ngga kalah canggung.
“baik juga”
Hening sesaat, sebelum…
“ehmmm…dong, kamu bisa ke Jakarta?” minta nya, yang terdengar ragu-ragu.
“sekarang? Emangnya mau ngapain mbak?”
“ntar malam aku mau tunangan sama Kiki”
Harapan ku saat ini adalah aku salah dengar, atau ngga sinyal ku jelek karena hujan, tapi…
“aku mau kamu ada disini, dong…dampingin aku” tambahnya.
Ini nyata, benar-benar jelas. Aku ngga pernah nyangka kalau ternyata permintaan ku ke Mas Kiki buat nyoba pacaran sama Mbak Reva benar-benar dia lakukan. Dan sekarang mereka malah mau tunangan. Kenapa ada orang yang bisa menyesal karena permintaan nya sendiri?
“dong…???” panggil nya dari sana.
“iya mbak, bisa kok. Mbak Rev share lokasi aja, ntar aku samperin” jawab ku dengan suara gemetar.
“iya…makasih ya dong..aku tunggu” balasnya, bahagia.
Beep.
Air mata ku turun tanpa aba-aba setelah telfon itu dimatikan. Seharusnya aku ngga nangis se pilu ini kalau sekarang Mas Kiki udah melakukan melebihi apa yang aku minta. Seharusnya aku bahagia karena masih dianggap keluarga sama Mbak Reva sampai dia nyuruh aku buat dampingin dia di acara nya yang penting. Dan seharusnya….hati ku udah balik lagi kuat seperti sebelum menaruh harap sama Mas Kiki.
‘Tuhan…sekarang aku berharap Bogor bakalan hujan tiga kali sehari seperti dulu…biar aku bisa kabur – sekali lagi…’ batin ku, penuh harap.