Pov Fajar: masa lalu
4 tahun sudah berlalu semenjak papa pergi meninggalkan kami semua, tak ada yang lebih menyedihkan daripada menyaksikan mama dan adikku satu-satunya menangis dipusaran terakhir papa. Pada saat itu secara otomatis aku sudah memegang ribuan beban kehidupan tanpa diminta yaitu menjaga dan memenuhi keinginan mereka apalagi saat tahu kematian papa menyimpan banyak rahasia yang baru kami tahu saat pak Supriadi Eka selaku pengacara papa datang kerumah setelah 3 hari kematian papa. Papa ditipu rekan bisnisnya namun menyembunyikan semuanya dari kami. Semua asset perusahaan disita pihak bank tanpa kami tahu. Namun diakhir kematiannya dia masih terlihat tenang dan bahagia bahkan masih sempat kami berempat berlibur ke Lombok merayakan ulangtahun pernikahan mereka.
Perusahaan yang sudah dirintis papa semenjak kuliah diambang kebangkrutan sudah, aku selaku anak laki-laki satu-satunya mulai berfikir bagaimana caranya menyelamatkan perusahaan tersebut tanpa menjual semua sahamnya. Sudah ribuan kali papa ceritakan kepada kami saat kumpul dihari minggu bahwa butuh banyak perjuangan untuk papa membangun perusahaan tersebut, maka aku bertekad bagaimapun caranya aku harus menyelamatkan perusahaan tersebut titik.
Semua kulakukan dari mulai mencari investor baru sampai meyakinkan pada investor lama untuk tidak mencabut sahamnya. Meski semuanya nyaris gagal, yang tersisa hanyalah semangatku yang hampir padam. Inilah titik dimana aku harus berjuang seperti apa yang dilakukan papa puluhan tahun lalu.
Disaat kepercayaan diriku mulai hilang pak Supriadi Eka memperkenalkanku pada salah satu rekan bisnis papa yang sekaligus teman masa kuliahnya dulu, yaitu cak Anto seorang pembisnis china yang baru membuka cabang perusahaannya di Bandung. Beliau sangat bersimpatik mendengar penjelasanku mengenai keadaan perusahaan kami ditambah papa dan cak Anto memang mempunyai hubungan yang lumayan dekat sejak dulu, hanya saja kematian papa yang tiba-tiba tidak sampai ketelinga cak Anto yang pada saat itu tengah melakukan perjalanan bisnis ke Hongkong dan baru tahu seminggu setelahnya.
Setelah melakukan berbagai pertimbangan maka setujulah cak Anto menjadi investor perusahaan kami dengen beberapa jaminan asset yang tersisa, pada saat itu tentu saja aku sangat bersyukur karena aku tahu keputusan ini sangat beresiko untuk perusahaannya. Siapa yang mau berinvestasi pada sebuah perusahaan yang berada diambang kebangkrutan? Namun aku yakin seperti yang beliau ketakan, tidak ada yang mustahil terjadi jika mau bergerak merubah keadaan.
Maka saat itu aku harus berjuang langsung diperusahaan selain menyelesaikan tugas akhirku yang hampir terbengkalai, cak Anto akhirnya tinggal dirumah kami dulu untuk mempermudahnya melakukan pekerjaan ketimbang harus bolak balik Bandung-Jakarta. Tinggal dirumah yang sama dengan keluarganya membuatku risih untuk pertamakalinya dalam beribadah, untung beliau toleran dalam hal agama. meski tidak ada yang lebih nyaman selain tinggal bersama keluarga yang satu agama dengan kita.
Adalah Aldwin putra semata wayang cak Anto yang menemaniku selama weekend di rumah, dia yang perlahan membuka wawasanku tentang agama. bagaimana caranya menjawab pertanyaan akan tuhan yang perlahan membuatku sadar betapa pentingnya belajar agama lebih dalam. Meski senang karena Aldwin menunjukan ketertarikannya akan islam, namun disatu sisi aku takut akan kepercayaan cak Anto kepadaku. Meski aku tahu hidayah bisa datang dimana saja dan kapan saja tanpa kenal waktu dan tempat, namun justu disinilah keimananku diuji. Karena aku masih menunjukan rasa takut kehilangan terhadap sesuatu yang menjadi harapanku dan keluargaku, yaitu perusahaan kami.
Maka hari itu aku memutuskan untuk termenung sendiri di depan aula kampus setelah mengisi acara seminar yang diadakan organisasi internal kampus, membiarkan saja mendung sore itu mengundang semilir angin yang menerbangkan daun daun yang berjatuhan dipinggir aula. Didepan gedung Farmasi kulihat beberapa anak ikhwan tengah bermain basket dengan ring yang ditempel disebuah pohon bringin besar, tempat parkiran yang semula penuh dengan kendaraan saat menjelang maghrib begini beralih fungsi menjadi tempat main basket dadakan Karena sebagian besar mahasiswa sudah pulang sejak sore. Aku hanya tersenyum sesaat menyaksikan sebagian besar mahasiswa baru tersebut bermain bersama para senior mereka. Dulu akupun seperti itu saat semester awal, menginjak semester 3 keatas saat mulai banyak tugas yang menumpuk dan organisasi mana sempat buat main basket, apalagi ditempat illegal seperti parkiran tadi, kalau ketahuan penjaga kampus bisa dapat kuliah gratis selama satu jam.
Notifikasi dari WA mengagetkanku
To Rani adik : aa lagi apa? Gimana skripsiannya?
Aku tersenyum membaca pesan singkat dari Rani, adikku satu-satunya. Rani dan mamalah yang menjadi alasanku untuk berjuang hingga saat ini, meski Rani tidak tahu apa yang aku lakukan terhadap perusahaan papa yang nyaris bangkrut, yang ia tahu perusahaan papa sudah bangkrut sejak ditipu rekan bisnisnya dengan membawa kabur uang perusahaan.
Namun mengingat Rani ada satu hal yang membuatku selalu ingin melindunginya dan tak ingin membuatnya terluka, inikah sikap seorang kakak kepada adik perempuan satu-satunya? Meski aku tak yakin betul Rani bisa memahami perasaanku sebagai kakaknya, apalagi semenjak aku mendengar permintaan terakhir papa sebelum meninggal. Rasanya berat untuk selalu membuatnya bahagia mengingat selama ini aku belum bisa menjadi contoh yang baik untuknya.
Aku mengabaikan pesan Rani seperti yang sudah sudah, lalu mengadahkan kepala keatas langit langit sambil duduk bersandar ditembok depan kelas, maafkan aa ya Ran.
* * *
"pokoknya aa gak suka kalau neng ikut-ikut aa terus mah, aa gak suka dibuntutin, gak suka dia ikut main sama aa"
"looh kok aa gitu sih, kan neng adiknya aa, harus sayang dong"
"aa gak suka sama neng, aa benci, aa gak suka dia jadi adiknya aa, aa gak suka dia lahir"
Bocah lelaki berumur 8 tahun itu berlari sambil membawa mobil robot, dalam hatinya marah luar biasa semenjak adik perempuannya lahir, kasih sayang orangtuanya terbagi, bahkan cenderung lebih menyayangi adiknya. Sementara gadis kecil bermata sayu itu hanya bingung melihat kakaknya pergi menjauh setelah memerahainya karena tak sengaja mematahkan mobil robot kesayangannya. Dalam hati tentu saja dia sedih, dia tak ingin sendiri, dia ingin ikut bermain seperti anak-anak pada umumnya. Sayang dikomplek besar tempatnya tinggl dia tak melihat satupun anak kecil yang bisa mengajaknya bermain, selain kakaknya sendiri.
Hingga puncaknya sore ini, saat mereka berlibur kepuncak menghabiskan weekend disalah satu villa milik papanya. Fajar kecil bersembunyi dibalik kebun teh didekat villa mereka menginap, fikirnya adik menjengkelkannya tak akan menemukan ia disana, meski dia harus menelan kekecewaan saat ia melihat gadis kecil itu ada didepannya sambil membawa boneka Barbie dengan muka yang hampir menangis.
"aa maafin neng yaa, neng janji gak akan patahin robot-robotan kesayangaan aa lagi"