POV Fajar
Hari sabtu siang yang cerah
Alhamdulillah aku baru selesai sidang dan lulus 3,5 tahun dengan predikat cum laude, disaat teman-teman yang lain masih sibuk merevisi BAB 1 atau bahkan ada yang masih bingung menentukan judul skripsi. Aku sudah menyandang gelar dan bisa sedikit bernafas lega. Meski setelah ini perusahan sudah menantiku.
"emang ya bang usaha tidak akan mengkhianati hasil. Gak sia sia ente begadang sampai laptop rusak kalau imbalannya sepadan"
Jojo dan teman satu jurusan ikut menyalamiku, mereka banyak yang membawa buket bunga dan juga kue tar bertulis Lekat Fajar Bidawan S E, tak lupa angka 23 yang memang kebetulan ulang tahunku tiga hari yang lalu. Kata mereka ini adalah hadiah ulangtahun sekaligus kelulusan.
Karena aku orang pertama yang lulus di jurusan bahkan angkatan, tak heran banyak yang minta berfoto dan juga mengucapkan selamat kepadaku, termasuk pada dosen yang selama ini membimbingku selama skripsi.
"selamat ya Jar, ingat dunia setelah kuliah lebih kejam daripada dosen ketika ngajar di kelas"
Aku menjabat tangan pak Bambang, beliau adalah dosen pembimbingku, sambil tertawa renyah beliau meninggalkanku dan beberapa dosen yang lain.
"nih dari Zahra, katanya selamat. Dia lagi sibuk Revisi jadi gak bisa ngasih langsung"
Jojo memberikan buket bunga kepadaku, ada kertas terselip didalam bunga
Selamat ya Fajar, semoga sukses, do'akan saya agar bisa cepat lulus secepatnya By Zahra Liesdafia
Aku melipat kertas tersebut sambil menerawang keatas langit, entah mengapa setalah ini, aku merasa hidupku akan tambah lebih berat.
"jadi gimana Jar? Setuju gak tawaran ustadz Adi buat Ta'aruf sama Zahra?"
Aku mengalihkan pandanganku kearah Jojo lagi, ustadz Adi adalah murobbi atau mentor Liqo ku selama kuliah di Bandung.
Zahra, aku kenal dengan akhwat satu ini ketika acara relawan Palestina di gedung sate ketiksa semester 2. Dia adalah gadis yang aktif dikegiatan dakwah dan social kampus. Entah bagaimana awal ceritanya, semua mahasiswa angkatan selalu mengatakan bahwa aku dan Zahra cocok, mungkin karena kami sering terlibat diskusi dan kepanitiaan bareng. Namun aku tahu hal tersebut tentu tak baik untuk kami berdua.
Menginjak semester 3 aku mulai menjaga jarak dan lebih fokus dengan matkul untuk mengejar nilai akademis yang kebetulan disemester kemarin menurun, hingga desus-desus mengenaiku dan Zahra hilang. Namun aku tak dapat memungkiri jika Zahra memang akhwat yang menarik, namun rasanya aku tidak bisa bertindak lebih jauh atau serius lagi. Entah karena aku ingin focus dengan perusahaan setelah kuliah, atau memang karena ada sesuatu yang sampai sekarang tak bisa aku lupakan.
"gimana jar, malah ngelamun..
Secepatnya kabari ustadz Adi ya"
Jojo menepuk pundaku sambil maju beberapa langkah menjauhiku dan berbalik
"sini foto dulu, nanti kasih ke mama sama adik kamu"
Aku mengikuti saran Jojo untuk tersenyum kearah kamera, namun sosok dibelakang jojo membuatku terkaget. Aku mengucek mata beberapa kali untuk memastikan.
"selamat a Fajar..."
Rani adiku, dia berdiri bersama Dewi, teman masa SMA-nya sambil membawa bunga dan kado yang dibungkus pelastik hitam transparan.
"neng.... Bukannya di Kalimantan?"
Jojo menoleh kearah belakang, mendapati Rani dan Dewi yang tengah berdiri dihadapannya, kontan saja Jojo mundur beberapa langkah untuk berdiri disampingku, dia sama kagetnya denganku.
"neng baru pulang semalam, kata Dewi aa sidang hari ini, jadi sekalian saja ke Bandung. Hmm jangan bilang mama ya a, neng gak bilang dulu soalnya"
Kenapa sih neng harus kesini segala? Aku membuka selempang yang masih kupakai dan melipatnya, lalu memandang Rani dengan Lekat.
"harusnya neng bilang aa dulu, kalau mama khawatir gimana?"
Adiku Rani, hanya menunduk mendengar ucapanku, tampaknya aku sedikit membentaknya barusan. Terlebih saat melihat Jojo dan Dewi yang pamit meninggalkan kami berdua. Mereka pasti tak enak melihatku yang membentak Rani.
Aku memang kelewat batas
"maafin neng a.."
Aku mendengus kesal sambil berjalan meninggalkannya
"yaudah ayo ikut aa"
Aku membawa Rani masuk kedalam kantin kampus, kebetulan jam segini mahasiswa masih didalam kelas, jadi tidak terlalu banyak orang didalam kantin.
Rani, masih menunduk sambil memainkan ujung jilbabnya, satu hal yang sering dia lakukan kalau dia tengah gelisah atau takut saat aku memarahinya.
Tak lama bi Erni, penjaga kantin datang membawa dua gelas jus. Mangga dan alpukat, Rani suka sekali dengan jus mangga.
"minum dulu neng..."
Rani masih diam sambil menunduk, tampaknya kali ini dia benar-benar sakit hati dengan omelanku barusan. Akupun tak mengerti mengapa aku selalu merasa kesal jika berhubungan tentang Rani, padahal apa yang dia lakukan bukanlah suatu kejahatan.
Bahkan seharusnya aku bersyukur memiliki adik seperti Rani, tapi masalahnya.....