POV Aldwin
Ada banyak cara mengungkap rasa syukur, dulu yang selalu mommy ajarkan padaku
Hari ini tepatnya 23 Mei 2020 aku mengucap syahadat di masjid ukhuwah Islamiyah UI, ada banyak orang yang menjadi saksi keislamanku selain ustadz Fajri seperti rekomendasi Rani, ada Ilham, Beno, Putri dan beberapa teman kelas yang menyempatkan hadir sholat Dzuhur berjamaah karena ingin menjadi saksiku di akhirat nanti.
Hatiku menangis, tak yakin karena apa.
Yang pasti salah satu sudut jiwaku sudah basah karena air mata. Inikah yang disebut syukur?
Syukur atas nikmat iman yang Allah berikan. Butuh waktu satu tahun untuk aku benar-benar percaya dan memutuskan berislam, tadi siang sebelum syahadat, aku sudah menghubungi Fajar via WA bahwa aku memutuskan berislam. Lelaki berhati lembut itu tak henti-hentinya mengucap syukur, meski dia tak lagi tinggal denganku di Bandung karena tuntutan pekerjaan, namun aku yakin, dia akan menjadi saksi perjuanganku selama ini.
"Ald, kalau ada masalah dan butuh cerita, kita-kita siap jadi pendengar yang baik. Beragama butuh teman agar iman kita tidak surut...
Setiap jum'at selalu ada kajian rutin disini, datang ya?"
Ilham menepuk pundaku ringan, sama seperti teman-teman yang hadir disini, dia beberapa kali meneteskan air mata haru.
"bro selamat ya, siap-siap abis ini ditedang dari rumah, ATM dicabut, mobil diambil....
Siap-siap kere lu"
Mei datang untuk memberikan selamat, ada yang berbeda. Kali ini dia berani memakai jilbab dilingkungan kampus, meski aku tahu konsekuensi yang akan dia dapatkan dari tindakannya. Namun aku merasa kali ini kami senasib.
Seketika wajah menyebalkannya berubah menjadi sendu, aku tahu dia tak tahan untuk memeluku, seperti yang sering kami lakukan dulu. Namun tidak mungkin karena sekarang kami sama-sama paham, terlebih dilingkungan masjid.
"istiqomah ya lu" kali ini beberapa teman sewaktu menjadi relawan ikut menyalami. Ada Febri, Bima, dan gadis berambut pendek hmmmm Fani kalau tidak salah namanya.
Aku celingukan mencari kanan dan kiri, dimana gadis itu? Padahal aku sudah mengabarinya tadi pagi untuk datang ke masjid kampus.
Padahal dia sudah berjanji akan datang dan rela bolos kuliah katanya. Namun aku pikir, bahkan
untuk kecewapun aku tak berhak.
Aku menghela nafas sambil berjalan bersama Ilham dan beberapa teman menuju kantin kampus. Hari ini aku berencana mengadakan syukuran kecil-kecilan.
"nanti antum-antum semua jangan bolos kajian pekan ini ya, temanya bagus banget nih"
Faruq, salah satu teman kelasku nyeletuk. Dia memang sudah lama bergabung dengan Ilham Cs karena satu organisasi.
"apaan bang temanya?"
"Sakinnah bersamamu"
Huuuuu... kontan saja semua teman-teman yang lain ikut bersorak mendengar perkataan terakhir Faruq, mana kantin siang ini lumayan ramai karena jam makan siang sudah tiba.
Aku melihat kiri kanan, rasanya aneh berada diantara banyak orang dalam keadaan ramai begini.
"terkhusus bang Ilham, jangan sampai ketinggalan ya, karena sudah semester 7 dan sudah siap-siap mengajukan proposal Ta'aruf semester depan"
Aku melihat kearah Ilham takjub, benar benar berani sahabatku yang satu ini. Kalau memang benar setelah selesai kuliah dia langsung nikah. Meskipun tak heran sebenarnya, banyak kakak-kakak tingkatku yang langsung menikah selepas wisuda, bahkan ada yang sudah menikah di semester 5 dan 6. Namun rasanya bagiku masih terdengar aneh.
Menikah diusia 23 tahun?
Mungkin karena hampir semua keluarga besarku menikah diusia matang, saat sudah sukses dan memiliki rumah dan kendaraan pribadi. Kalau aku menikah setelah wisuda, bisa kena julidan keluarga besar.
Loh kok aku? Memangnya siapa yang mau menikah diusia 23 tahun Ald, aku tertawa dalam hati.
"tuh bang, calonnya sudah datang. Kalau kelamaan nanti diduluin sama bang Faruq" kali ini Bima yang nyeletuk.
Kontan kami yang tengah asik makan dan mengobrol menoleh kearah pandangan Bima, tepat saat itu aku melihat Rani dan Mei yang tengah berdiri mengantri makanan di kedai bakso tak jauh dari meja kami.
Hatiku berdegup tak karuan, hari ini dia terlihat cantik dengan gamis cream dan kerudung bunga-bunga. Pikiranku kembali berkelana dengan kejadian beberapa minggu yang lalu saat kami masih terlibat acara di Kalimantan Utara.
Ngomong-ngomong sejak kapan aku jadi memikirkan gadis itu. Come on Aldwin, bukankah memandang perempuan untuk menikmati kecantikannya adalah bagian dari dosa?
Aku mengalihkan pandanganku sambil menunduk malu dengan diriku sendiri
"siapa? Meitaris atau Maharani?"
"ya Rani lah, bang Ilhamkan...."
"ssst.... Antum nih ya kalau gossip suka gak kira-kira"