Pelabuhan Terakhir

Rusmini
Chapter #11

Bagian 10

POV Aldwin

Aku adalah manusia bodoh, orang banyak menyebutku dengan Mr Es. Sebuah panggilan manis bagi mereka yang tertarik denganku. Ada banyak panggilan sebenarnya, namun terkadang aku terlalu tak ambil pusing untuk sebuah gelar yang sedikit menyebalkan.

Yang terpenting, mereka tidak berusaha menggangguku dengan ulahnya yang terkadang over, kalian tahu sendiri aku adalah spesies langka didunia ini. Dengar, aku sedang tidak menyombongkan diriku sendiri, hanya saja kali ini aku dipusingkan dengan sikap anehku sendiri.

Aku sudah bertingkah bodoh dengan mengungkapkan perasaanku pada Rani ketika aku bekerja, aku pikir gadis itu tidak akan menepati janjinya untuk mendengarkan siaranku. Gara-gara pertanyaan gak ada akhlak dari salah satu pengirim WA, yang ternyata adalah salah satu penggemarku di kampus. Shalsa, anak teknik Informatika angkatan 19 yang menggunakan nama samaran sebagai Tania.

Setelah kejadian "mengungkapkan perasaan" itu terjadi, perempuan di jurusanku geger dengan dipenuhu tanda tanya besar. Siapakah perempuan yang dimaksud?

Aku tak tahu jika mereka selama ini sering mengirim pesan yang sama ketika aku siaran, (bahkan aku pikir tidak ada yang tahu jika aku menjadi penyiar radio) hanya saja aku tidak terlalu menanggapi pertanyaan konyol begitu. Dan sialnya, kenapa harus malam itu sih, saat ada seseorang yang tengah mendengarku dengan iseng (mungkin) atau hanya sekedar menepati janjinya padaku beberapa hari yang lalu ditepi danau.

Perempuan-perempuan yang ngakunya memiliki sifat yang sama dengan Rani kontan mendeklarasikan dirinya, bahwa dialah gadis yang dimaksud Aldwin.

Sepanjang hari ini aku disibukan dengan menghindari perempuan-perempuan yang sudah terlanjur kepo, dan Rani sama halnya denganku. Dia sibuk menghindariku, satu kesalahan besar karena aku telah membuatnya merasa tak nyaman dan asing dengan lingkungannya saat berpapasan denganku.

Dasar bodoh.

Meski untungnya tidak ada yang curiga sama sekali dengan Rani, kalau hal itu terjadi, lebih baik tenggelamkan saja aku di danau UI saking tak kuasanya menyaksikan wajah cerianya berubah jadi sendu.

Maafkan saya Ran..

"anak-anak lagi heboh tuh..

Siapa sih yang lu maksud semalam? Cerita dong kali aja gue bisa bantu"

Aku melirik sekilas kearah Faruq dengan tidak minat, setahuku dia adalah timnya Ilham dan Rani. Mana berani aku cerita kalau ternyata aku memiliki perasaan pada gadis itu.

"dia gak bisa diem, berisik,

Sebenarnya itu kucing gue, sengaja gue jawab, soalnya kalau enggak dijawab mereka akan terus menanyakan hal yang sama pas gue kerja"

"Bhahahahah ..."

kontan saja Faruq tertawa terpingkal-pingkal, aku bersyukur setidaknya dia percaya dengan lelucon yang kubuat.

Kucing?

Mana ada kucing secantik dan seanggun gitu..

"oke bro, gue baru sadar kalau ternyata wajah ganteng bisa jadi cobaan buat kita"

Faruq menepuk pundaku pelan masih dengan sedikit tertawa, aku tahu dia tak benar-benar berempati dengan kehebohan karena ulahku semalam.

Yang pasti dia lumayan membantu dengan menyebarkan berita tersebut ke anak-anak kelas yang kemarin kepo, bahwa yang dimaksud Aldwin pas siaran kemarin adalah kucingnya yang gak bisa diam, berisik, dan manja. Dengan begitu aku bisa sedikit bernafas lega untuk sesaat.

Namun rupanya susah untuk lega atau tenang saat tak sengaja kami berpapasan di masjid kampus. Gedung fakultasku dan rani berjauhan, jadi kami hanya bisa bertemu dimesjid saat ada kajian atau sholat berjamaah.

Dia sudah tak lagi menghindariku meski sesekali terlihat kikuk, padahal kejadian itu sudah beberapa bulan berlalu. Dan teman satu kelasku bahkan sudah lupa dengan aksi mengungkapkan perasaanku pada sang kucing.

Hari ini kebetulan setelah liqo bersama Ustadz Fajri di masjid, aku berpapasan dengan Mei dan juga Rani, tampaknya mereka baru selesai sholat ashar, maka aku memberanikan diri untuk mendatangi Rani dan Mei.

"Assalamualaikum Mei, Ran..."

Mei memincingkan matanya penuh curiga,

Sial, nampaknya dia tahu ada maksud dibalik keramahanku kali ini, maklum aku tak pernah akur dengan sepupuku yang menyebalkan ini, jadi akan terdengar aneh kalau tiba-tiba aku menyapanya duluan dengan ramah.

"Walaikumsalam... kenapa Wiwin"

Shit, dia memanggilku dengan panggilan itu lagi.

Mataku sudah membulat ingin menyerangnya dengan berbagai umpatan, namun sekali lagi aku sadar, ada Rani disampingnya.

Lihat selengkapnya