POV Aldwin
Dihari minggu yang cerah, secerah birunya langit cinta dikota Depok...
Aku, si manusia aneh yang terlihat selalu menyedihkan dengan raut mata yang sendu, memandang pantulan diriku dikaca apartemen. Lengkap dengan kemeja kotak-kotak biru yang digulung sampai siku.
Aku memandang wajahku yang sedikit berantakan, ada sedikit jambang dan jenggot tipis yang kubiarkan tumbuh dengan tak biasanya. Tak ketinggalan, kacamata dengan frame bulat yang kuyakin sudah berembun karena kubiarkan tubuh ini berlama-lama didepan cermin kamar mandi.
Sekilas, aku tampak seperti remaja yang akan pergi berkencan untuk pertama kalinya. Padahal aku hanya akan pergi kerumah singgah. Tempat yang sudah biasa aku kunjungi sebulan terakhir, saat selesai mengerjakan skripsi.
Gara-garanya satu pesan dari Mei yang mengatakan bahwa Rani dan beberapa teman kelasnya akan ikut mengajar sore ini. Meski pada kenyataannya aku hanya akan menghindari gadis itu, mengingat janji yang sudah aku katakan pada sepucuk surat beberapa hari yang lalu.
Aku memang terlalu naif, aku tak pernah bener-benar bisa melupakan gadis itu. Tidak sekalipun.
Bahkan hingga kini, saat jarak kami hanya tersisa beberapa meter. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam. Menyaksikannya yang tertawa menghibur anak-anak kumal yang ditinggal keluarganya mencari nafkah di ibu kota.
"adik-adik tahu gak...
Ka Aldwin sekarang lagi ulang tahun loh yang ke 23, coba dong kasih ucapan selamat"
Aku yang mendengar namaku disebut kontan terkaget, apalagi saat Rani tersenyum simpul kearahku ditengah anak-anak.
Sekilas, aku nampak seperti orang yang tertangkap basah karena telah memandangnya sambil tersenyum. Aku tergagap sambil memandang kearah mereka, apa-apaan ini.
"kakak ganteng, selamat ulang tahun yaaa...
Jangan lupa kasih kita kado"
Seorang anak berbaju coklat kebesaran maju kearahku, lalu menyerahkan satu tangkai bunga mawar plastic yang entah didapatnya dari mana.
"yang ada elu g*bl*k, yang kasih kado"
Seorang anak lelaki menjawab anak tersebut yang disambut dengan gelak tawa seluruh anak-anak singgah.
Aku dan beberapa teman sudah tidak kaget mendengar ucapan kasar anak-anak yang memang sudah terbiasa bergaul dengan lingkungan sekitar kolong jembatan dan preman pasar.
Ngeri sebenarnya, diusianya yang masih kecil, mereka harus putus sekolah dan bekerja sebagai pemulung dan asongan untuk mencari tambahan penghasilan bagi orang tuanya.
Rumah Singgah Harapan ini dibangun oleh salah satu alumni UI yang dulu prihatin melihat kondisi anak-anak sekitar kolong jembatan. Mereka menjadi gelandangan dan juga dimanfaatkan oleh preman-preman untuk menjadi pengemis dijalanan.
Berbekal proposal yang disebar kesetiap perusahaan besar, maka dibangunlah rumah singgah ini. Meski tidak merubah anak-anak secara signifikan , namun mereka sedikit demi sedikit mulai mau belajar menulis dan membaca. Meski terkadang kami harus sedikit bersiteru dengan para preman dan orang tua mereka yang menginginkan jika anaknya menjadi gembel dan gelandangan untuk mendapatkan uang.
"Rani... makasih ya sudah memberi saya kesempatan untuk berbicara dengan anak-anak"
Aku memberanikan diri menemui Rani setelah selesai acara dan membagi-bagikan makanan dan buku untuk mereka.
Melihatnya yang hanya diam, aku sontak berjalan meninggalkannya. Aku cukup tahu diri untuk tidak lagi menampakan wajahku dihadapannya.
"selamat ulang tahun kak...
Barakallah fii umrik. Semoga bisa lebih baik lagi"
Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara Rani, cukup pelan. Namun bisa dengan jelas kudengar ditengah keramaian anak-anak.
Aku membalikan badan dan melihatnya tengah tersenyum simpul kearahku, lalu dia nampak menunduk malu. Aku yakin itu, karena sebenarnya kami adalah sama. Dua orang asing yang dipertemukan tak sengaja pada suatu rasa bernama cinta.
000
"mi, maafkan Aldwin...."
Tak berani kupandangi wajah mommy dan papa yang pastinya kecewa berat dengan keputusanku. Maaf, pada akhirnya aku memang bukanlah anak yang bisa sesuai dengan keinginan mereka.
"kalau mommy dan papa mau usir Aldwin dan mencabut segala fasilitas yang kalian berikan...
Aldwin akan terima.
Tapi jangan pernah menyalahkan Fajar, karena Aldwin sudah tertarik dengan islam sebelum bertemu dengan Fajar"
Masih kudengar suara isak tangis mommy. Inilah kali pertama aku melihatnya menangis, dan itu karena aku.
Sementara papa masih terdiam kaku disamping mommy, aku tahu dia sama kecewanya dengan mommy. Hanya saja beliau tak pandai menyembunyikan rasanya padaku.
Sekarang aku tahu alasan Fajar pergi meninggalkan rumah. Karena mommy dan papa mengusir dan mencabut investasi di perusahaannya setelah mengetahui fakta keislamanku lewat Fajar.
Dan bodohnya lelaki itu tak memberitahuku, bahkan saat aku menghubunginya ketika aku akan bersyahadat beberapa bulan lalu. Dia terlalu rapi menyimpan lukanya sendiri tanpa mau berbagi denganku.